SALAFY LOMBOK
Blog Ahlussunnah wal jamaah

Cari Blog Ini

Kamis, 30 Juni 2011

Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW 2

Abdul Hakim bin Amir Abdat

Halaman dua dari dua tulisan

Dibawah ini akan saya jelaskan lebih luas lagi :

1. MAKNA DUSTA

Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326) : "Ketahuilah ! Sesungguhnya menurut madzhab

Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah : Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan (dusta itu) dengan sengaja atau karena kebodohanmu (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja".
(baca juga syarah Muslim 1/69).

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (1/211): Artinya : "Sesungguhnya dusta itu ialah : Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan dengan keadaannya".

2. MAKNA BERDUSTA ATAS NAMA NABI SAW

Berdusta atas nama Nabi SAW ialah : menyandarkan sesuatu kepada beliau SAW baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'il) atau taqriri (persetujuan beliau atas perbuatan atau perkataan sahabat) dan segala sesuatu yang disandarkan kepada beliau SAW dengan cara berbohong/berdusta atas namanya SAW. Sama saja, apakah masalah-masalah hukum atau targhib dan tarhib dan nasehat-nasehat atau tarikh/sejarah dan lain sebagainya. Semuanya adalah haram dan termasuk berbohong atas nama Nabi SAW, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi di atas (semoga Allah merahmatinya).

Hadits atau riwayat dusta itu, Ulama kita menamakannya dengan "HADITS/RIWAYAT MAUDLU'/PALSU" yaitu : "Hadist yang dibuat-buat/diada-adakan/diciptakan orang secara dusta atas nama Nabi SAW, baik dengan sengaja atau tidak sengaja". Tidak sengaja itu bisa dengan sebab kebodohan atau kekeliruan atau kesalahannya. Meskipun ia tidak secara langsung berdusta, tetapi tetap saja kabarnya dinamakan kabar maudlu' (palsu/bohong). Karena itu hadits-hadits tidak boleh diambil dari orang-orang jahil dan bukan ahlinya dan cacat lainnya sebagaimana telah diterangkan oleh Ulama-ulama ahli Hadits. (lebih lanjut bacalah Muqaddimah Imam Muslim di kitab sahihnya).
(Baca : Muqaddimah Ibnu Shalah (halaman 47). Syarah Nukhbatul Fikr (halaman 80) Ibnu Hajar, Al Wadlu' fil Hadist (1/107), Taujihunnadazar ila Ushulil A-tsar (halaman 252).

3. HUKUMNYA

Hadits-hadits diatas [tulisan kami bagian pertama] merupakan ancaman yang sangat berat dan mengerikan sekali terhadap para pemalsu dan pendusta-pendusta besar atas nama Rasulullah SAW. Untuk mereka Allah Jalla Jalaa Luhu telah menyediakan tempat tinggal berupa satu rumah di neraka, yang disitu mereka akan diadzab dengan adzab yang besar.
Hal ini disebabkan karena :

1. Bahwa berdusta atas nama Rasullah SAW adalah sebesar-besar dusta yang pernah dilakukan oleh manusia, sesudah berdusta atas nama Allah Jalla Jalaa Luhu, bahkan berdusta atas nama Rasulullah SAW sama dengan berdusta atas nama Allah Jalla wa'ala.
2. Berdusta atas nama Rasulullah SAW tidak sama dengan berdusta kepada orang lain (selain Nabi SAW), kalau berdusta kepada orang lain telah berdosa (dosa besar menurut Ulama), maka bagaimana pandanganmu terhadap orang yang berbohong atas nama "seseorang" yang perkataan dan perbuatannya menjadi syariat dan diikuti oleh manusia ..? Dengan sendirinya si pendusta ini telah membuat syariat baru yang bukan syariat Nabi SAW meskipun memakai nama beliau SAW. Kemudian kebohongannya itu tersebar di permukaan bumi dan terus berkelanjutan yang diturut banyak manusia sampai hari qiamat. Dengan demikian terjadilah kerusakan yang sangat besar pada Agama dan dunia seperti timbulnya ajaran-ajaran syirik, khurafat-khurafat dan bid'ah-bid'ah,dsb.

Oleh karena kerusakannya demikian besar, maka Ulama-ulama kita telah berselisih pandangan dalam menghukuminya, menjadi dua madzhab :

1. Tidak mengkafirkannya, tetapi pelakunya telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar dan seburuk-buruk perbuatan. Demikian pendapat jumhur menurut Imam Nawawi.
2. Tegas-tegas mengkafirkan orang-orang yang berdusta dengan sengaja dan mengetahui kedustaannya atas Nabi SAW. Telah berkata Imam Ibnu Katsir : "Sebagian Ulama ada yang mengkafirkan orang yang sengaja dusta dalam hadits Nabi dan diantara mereka ada yang mewajibkan harus dibunuh". (Ikhtisar Ulumul Hadits : 102).

Sebagian Ulama tersebut ialah Imam Al Juwaini (bapaknya Imam Haramaian). Demikian keterangan Nawawi di syarah Muslim (1/69) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fath (91/212-213 & 7/310), kemudian Syaikh Ahmad Syakir dalam syarahnya atas kitab Ibnu Katsir (halaman 79). Dan kelihatannya Imam Ibnu Abdil Bar condong berpendapat mengkafirkannya. Demikian menurut Ibnu Hajar. Pandangan Imam Al Juwaini yang sangat tegas mengkafirkannya dan beliau nyatakan terus menerus di majelis-majelisnya telah dibantah dan dilemahkan oleh anaknya sendiri yaitu Imam Haramain, kemudian Imam Nawawi dan kelihatannya Ibnu Hajar pun condong melemahkannya. Tetapi menurut Syaikh Ahmad Syakir (seorang Ulama Ahli Hadits besar pada abad ini) bahwa pendapat Imam Juwaini itulah yang benar. Wallahu a'lam.

Kemudian Ulama-ulama kita pun berselisih pendapat dalam menerima kembali riwayat-riwayat orang yang telah taubat dari memalsukan hadits Nabi SAW. Apakah diterima kembali atau ditolak selama-lamanya..? Dalam masalah inipun terdapat dua madzhab :

1. Tidak diterima dan ditolak selama-lamanya meskipun ia telah taubat dengan taubat yang shahih. Demikian madzhab (pendapat) Imam Ahmad bin Hambal dan Ulama-ulama besar yang sefaham dengan beliau.
2. Diterima riwayatnya apabila ia telah taubat dengan taubat yang shahih. Dan Imam Nawawi telah membantah faham di atas (madzhab Imam Ahmad) dengan beberapa hujjah. (baca : Syarah Muslim/69).

Menurut tahqik Syaikh Ahmad Syakir yang rajih (kuat) ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Ulama-ulama yang sefaham dengannya, sebagai peringatan dan ancaman yang sangat keras berdusta atas nama Rasulullah SAW, karena kerusakannya sangat besar dan akan menjadi syariat yang terus menerus sampai hari qiamat. Berbeda dengan dusta kepada selainnya dan saksi (palsu), karena kerusakan keduanya terbatas dan tidak umum. Maka tidak dapat dikiaskan/diibaratkan berdusta dalam meriwayatkan hadits dengan berdusta dalam saksi dan macam-macam maksiat yang lain. Wallahu a'lam.
(baca : Ikhtisar Ibnu Katsir halaman 101-102).

4. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PEMALSUAN HADITS

Adapun sebab-sebab yang membawa para pendusta untuk memalsukan hadits-hadits atas nama Rasulullah SAW banyak sekali, diantaranya :

A. Kaum Zindiq

Yakni mereka yang berpura-pura Islam tetapi sesungguhnya mereka adalah kafir dan munafiq yang sebenarnya. Mereka adalah kaum yang sangat hasad dan benci terhadap Islam dan bertujuan merusak Agama ini dari dalamnya dengan berbagai macam cara. Diantaranya membuat hadits-hadits palsu banyak sekali. Lalu mereka tampil ditengah-tengah umat menyerupai Ulama, kemudian mereka sebarkan hadits-hadits buatan mereka dengan memakai nama Nabi SAW. Tujuan mereka tidak lain untuk merusak syariat dan mempermainkan Agama Allah sekaligus menanamkan keraguan (tashqik) di hati kaum Muslimin khususnya masyarakat awam.

Berkata Hammad bin Zaid seorang Atba'ut Tabi'in besar wafat tahun 190 H.
Artinya : "Kaum Zindiq telah memalsukan (hadits) atas (nama) Rasulullah SAW sebanyak empat belas ribu hadits".

Ketika Abdul Karim bin Abi "Awjaa', salah seorang zindiq ditangkap dan akan dipenggal kepalanya oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Abbaasiy (seorang pemimpin Basrah pada zaman khilafah Al-Mahdi, pada tahun 160 lebih), maka tatkala Abdul Karim telah yakin akan dibunuh, ia berkata :
Artinya : "Demi Allah ? Sesungguhnya aku telah memalsukan pada kamu sebanyak empat ribu hadits palsu, aku haramkan padanya yang halal dan aku telah halalkan (perkara) yang haram".

Demikian juga Muhammad bin Said Asy-Syamiy Al-Maslub (yang mati disalib karena zindiqnya oleh Abu Ja'far Al-Manshur). Zindiq yang satu inipun telah memalsukan hadits sebanyak empat ribu hadits. Telah berkata Imam Nasa'i di akhir kitabnya "Adl-Dlua'afa' wal Matrukiin" (halaman 310) : "Para pendusta yang terkenal telah memalsukan hadits Rasulullah SAW, ada empat orang : Ibnu Abi Yahya di Madinah, Al-Waqidiy di Baghdad, Muqotil bin Sulaiman di Al-Khurasan dan Muhammad bin Said di Syam yang terkenal dengan (sebutan) Al-Mashlub (orang yang mati di salib).

Saya berpandangan : Bahwa sepanjang penelitian saya hadits-hadits yang dipalsukan kaum zindiq itu terbagi kepada beberapa bagian :

1. Hadits-hadits palsu yang mengajak dan mengajarkan kepada syirik dengan macam-macam cabangnya.
2. Hadits-hadits palsu tentang bid'ah-bid'ah Agama dengan segala tingkatannya.
3. Hadits-hadits palsu yang menganjurkan kepada maksiat-maksiat.
4. Hadits-hadits palsu yang memperbodoh dan melemahkan umat terutama tentang jihad fi-sabilillah.
5. Hadits-hadits palsu yang merusak akal, adab dan pergaulan, dll.

B. Satu Kaum yang memalsukan Hadits karena mengikuti hawa nafsu

Mereka mengajak manusia mengikutinya untuk menyalahi Al-Kitab dan As-Sunnah. Seperti : Ta'ashub madzhabiyah, golongan/firqahnya, fahamnya, berlebihan terhadap Imam-imamnya, karena jenisnya, qabilah/sukunya, negerinya atau lughohnya/ bahasanya dan lain sebagainya.

Berkata Abdullah bin Yazid Al-Muqriy (seorang Atba'ut Tabi'in besar gurunya Imam Malik, wafat tahun 148 H), "Sesungguhnya ada seorang laki-laki dari ahli bid'ah (yang dimaksud bid'ah aqidah) yang telah ruju' (kembali sadar) dari bid'ahnya, ia berkata :
Artinya : "Perhatikanlah hadits itu dari siapa kamu mengambilnya ! Karena sesunggunya kami dahulu apabila berpendapat dengan satu pendapat, maka kami jadikan ia (pendapat kami itu) sebagai satu hadits (yakni kami palsukan mejadi hadits)".

Berkata Abdullah bin Lahai'ah (wafat tahun 174H): "Aku telah mendengar seorang syaikh dari Khawarij yang telah taubat dan ruju', ia berkata :
Artinya : "Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah Agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.! Karena sesungguhnya kami dahulu apabila condong kepada satu urusan (maksudnya faham yang setuju dengan bid'ahnya) niscaya kami jadikan ia sebagai satu hadits (kami palsukan menjadi hadits)".

Berkata Hammad bin Salamah (Atba'ut Tabi'in wafat 167 H): "Telah mengabarkan kepadaku seorang syaikh dari Rafidhah (Syi'ah), sesungguhnya mereka berkumpul (sepakat) untuk memalsukan hadits-hadits"

C. Satu kaum yang memalsukan hadits-hadits untuk tujuan yang baik menurut persangkaan mereka

Mereka buat hadits-hadits palsu tentang targhib dan tarhib dan nasehat-nasehat dan lain-lain. Mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkan dengan mengharap ganjaran dari Allah Jalla Jalaa Luhu .!? Kemudian mereka berkata. Kami tidak berdusta untuk merusak (nama atau Syari'at) Nabi SAW tetapi untuk kebaikan beliau SAW..!?

Hujjah mereka di atas menurut Ibnu Katsir menunjukkan sempurnanya kebodohan mereka, sedikitnya akal mereka, banyaknya dosa dan kebohongan mereka, karena Nabi SAW tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syariat dan keutamaannya. Mereka itu kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.

D. Qash-shaas (Tukang-tukang cerita)

Mereka yang memalsukan hadits-hadits dalam cerita-cerita mereka, untuk mencari uang dan supaya orang-orang awam (umum) takjub (terkesima).

E. Satu kaum yang membolehkan memalsukan hadits untuk setiap perkataan yang baik

F. Satu kaum yang memalsukan hadits untuk kepuasan hawa nafsu para penguasa dan mendekatkan diri kepada mereka

G. Satu kaum yang memalsukan hadits pada waktu-waktu yang diperlukan

Seperti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, membela faham/pendapat, mencela atau marah kepada seseorang dan lain sebagainya.

[Baca : Al-Madkhal (halaman 51-59) Imam Hakim. Adl-Dlua'afaa' 91/62-66 & 85) Ibnu Hibban. Al-Maudlu'at (1/37-47) Ibnul Jauzi. Maj'mu Fatawa (18/46) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ikhtisar Ibnu Katsir (halaman 78-88). Syarah Nukhbatul Fikr (halaman 84-85). Mizanul I'tidal (2/644) Adz-Dzahabi].

5. PERKATAAN/LAFADZ-LAFADZ/YANG MEREKA GUNAKAN

Para pendusta itu dalam memalsukan hadits menggunakan beberapa perkataan, diantaranya :

1. Mereka susun perkataan sendiri, lalu mereka sandarkan kepada Nabi SAW.
2. Atau mereka ambil perkataan-perkataan ahli hikmah, orang-orang shalih, atau cerita-cerita Israiliyat dan lain-lain.
3. Atau Hadits yang dlo'if sanadnya, kemudian mereka susun dan hiasi (yakni mereka palsukan) menjadi shahih sanadnya.

[Baca : Mukaddimah Ibnu Shalah (halaman 47), Syarah Nuhbatul Fikr (halaman 83) Ibnu Hajar].

6. CIRI-CIRI/TANDA-TANDA HADITS MAUDLU'

Diantara tanda-tanda bahwa hadits itu maudlu'/palsu, ialah :

1. Pengakuan dari pemalsu itu sendiri, seperti beberapa contoh diatas (baca juga Al-Madkhal (halaman 53) Imam Hakim).
2. Terdapat keganjilan dan rusak maknanya.
3. Bertentangan dengan apa yang telah tsabit dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dll.

[Baca : Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (halaman 78) dan masalah ini telah dibahas dengan luas oleh Imam Ibnul Qoyim di kitabnya 'Al-Manaarul Munif Fish Shahih Wadlo'if]

Tidaklah mudah untuk mengetahui hadits itu maudlu', dan bukan sembarang orang yang dapat menentukannya, kecuali Imam-imam ahli Hadits dan ulama-ulama yang mahir dan luas pengetahuannya tentang Sunnah. Memiliki kemampuan yang khusus tentang Sunnah/Hadits, Jarh dan Ta'dil serta Tarikh Rawi dan lainnya yang berhubungan dengan Ilmu Hadits yang mulia ini.

Adapun mereka yang tidak punya ilmu hadits yang mulia ini (As-Sunnah/Hadits), mereka hanya mendlo'ifkan atau menentukan hadits maudlu' karena hawa nafsu dan ra'yu-ra'yu mereka yang bathil dan menyalahi Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka yang sehari-hari menggugat Sunnah yang shahih, maka mereka yang zhalim, penentang-penentang sunnah shahihah ini, sama sekali perkataannya tidak boleh didengar dan wajib ditentang dan dibuka kelemahan mereka dan memberikan penjelasan kepada umat akan tipu daya mereka yang sangat berbahaya.

7. PEMELIHARAAN TERHADAP HADITS/SUNNAH

Meskipun hadits-hadits itu telah banyak dipalsukan orang dan tidak sedikit hadits-hadits shahih didustakan, ditolak dan digugat, tetapi Allah Azaa wa Jalla tetap memelihara dan menjaganya, karena Ia telah berfirman :
Artinya : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan peringatan ini (Al-Qur'an), dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya". (Al-Hijr : 9).

Sewaktu Abdullah bin Mubarak (seorang Imam Mujahid besar dari Thabaqah Atba'ut Tabi'in, wafat tahun 181 H) ditanya tentang hadits-hadits maudlu' beliau menjawab bahwa nanti akan hidup orang-orang yang ahli dalam hadits yang akan membela (menjaga dan mempertahankannya), kemudian beliau membaca firman Allah di atas.

Pemeliharaan terhadap Hadits/Sunnah itu dimulai dari Thabaqah pertama, yaitu para Shahabat Radliyallahu 'Anhum. Thabaqah kedua dan ketiga yaitu : Tabi'in dan Atba'ut Tabi'in, kemudian datang Thabaqah keempat dan seterusnya. Maka bangkitlah Imam-imam Sunnah yang telah menyediakan hidup dan umur mereka untuk membela Sunnah Nabi SAW, Mereka itulah Salafus Shalih dan Tha'ifah Manshurah yang selalu akan ada dalam umat ini.

Jazaahumullahu 'Anil Islam Khairan.
Baca SelengkapnyaAncaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW 2

Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW 1

Abdul Hakim bin Amir Abdat

Halaman satu dari dua tulisan

Dalam masalah ke-2 ini, kami tunjukkan sejumlah hadits-hadits shahih, tentang ancaman yang sangat berat dan adzab yang sangat mengerikan kepada para pendusta dan pemalsu hadits atas Nabi SAW.

Hadits-hadist tersebut ialah :

........... "Man kadzaba a'laiya muta'ammidan palyatabawwa maq'adahu minannaar".

Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW "Barang siapa yang berdusta atasku (yakni atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/36) dan Muslim (1/8) dll)

Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang membuat-buat perkataan atas (nama)ku yang (sama sekali) tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (No. 34) dan Imam Ahmad bin Hambal (2/321))

Artinya : Dari Salamah bin Akwa, ia berkata. Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : "Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
(Hadits shahih riwayat Imam Bukhari (1/35) dll, hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (4/47) dengan lafadz yang sama dengan hadits No. 1,4,5,6 & 8)

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan lagi (4/50) dengan lafadz.

Artinya : "Tidak seorangpun yang berkata atas (nama)ku dengan batil, atau (ia mengucapkan) apa saja (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, melainkan tempat duduknya di neraka".
Sanad ini shahih atas syarat Bukhari dan Muslim.

Artinya : Dari Anas bin Malik, ia berkata. Sesungguhnya yang mencegahku menceritakan hadist yang banyak kepada kamu, (ialah) karena Rasulullah SAW telah bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta atasku (yakni atas namaku), maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
Hadits shahih dikeluarkan oleh Bukhari (1/35) dan Muslim (1/7) dll.

Artinya : Dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata. Aku bertanya kepada Zubair bin 'Awwam : "Mengapakah aku tidak pernah mendengar engkau menceritakan (hadits) dari Rasulullah SAW sebagaimana aku mendengar Ibnu Mas'ud dan si fulan dan si fulan..? Jawabnya : Adapun aku tidak pernah berpisah dari Rasulullah sejak aku (masuk) Islam, akan tetapi aku telah mendengar dari beliau satu kalimat, beliau bersabda : "Barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
Hadits shahih, dikeluarkan Bukhari (1/35), Abu dawud (No. 3651) dan Ibnu Majah (No. 36 dan ini lafadznya) dll.

Dua riwayat di atas dari dua orang sahabat besar Anas bin Malik dan Zubair bin 'Awwam, menunjukkan betapa sangat hati-hatinya para sahabat radliyallahu 'anhum dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW.

Artinya : Dari Abdullah bin Amr, ia berkata. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : "Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari (4/145) dan Tirmidzi (4/147 di Kitab Ilmu) dan Ahmad (2/159), 202 & 214) dll.

Sabda Nabi SAW. " Ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan", yakni tidak berdosa selama itu baik menurut Syara'.

Berkata Imam Malik. "Yang dikehendaki boleh menceritakan tentang mereka (Bani Israil) ialah dari urusan yang baik, adapun apa-apa yang telah diketahui dustanya tidak boleh". Demikian juga keterangan Imam Syafi'iy, hampir sama. (baca Al-Fathul Bari 7/309 syarah Bukhari).

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa cerita-cerita tentang Bani Israil itu ada tiga macam :

Yang telah diketahui kebenaran dan kesahihannya oleh Syara' dari perkara-perkara yang baik. Maka inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW diatas.

Yang telah diketahui kebatilan dan kedustaannya oleh Syara'. Maka tidak boleh kita ceritakan, kecuali untuk menjelaskan kebatilan dan dustanya.

Yang tidak atau belum diketahui benar dan dustanya. Maka tidak boleh kita imani atau dustai, dan menceritakannya-pun tidak ada faedah sama sekali. (baca Tafsir Ibnu Katsir 1/4).

Artinya : Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata. telah bersabda Rasulullah SAW. "Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku.! Karena, sesungguhnya barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia memasuki neraka".
Hadist shahih, riwayat Bukhari (1/35), Muslim (1/7), Tirmidzi (4/142 Kitabul Ilmi), Ibnu Majah (No. 3) dan Ahmad.

Artinya : Dari Mughirah (bin Syu'bah) radliyallahu 'anhu, ia berkata, Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : "Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah sama berdusta kepada orang lain (selainku), maka barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka".
Hadist shahih riwayat Bukhari (2/81), Muslim (1/8) dan Ahmad (4/252).

Artinya : Dari Watsilah bin Asqa', ia berkata. telah bersabda Rasulullah SAW. "Sesungguhnya dari sebesar-besar dusta adalah, seorang menda'wahkan/mengaku (berbapak) kepada yang bukan bapaknya (yakni menasabkan diri kepada orang lain yang bukan bapaknya), atau (ia mengatakan) telah diperlihatkan kepada matanya apa yang (sebenarnya) matanya tidak pernah melihat (yakni ia mengaku telah bermimpi dan melihat sesuatu tetapi sebenarnya bohong).

Dalam riwayat yang lain di jelaskan, atau (ia mengatakan), telah diperlihatkan kepada kedua matanya dalam tidur mimpi) apa yang tidak dilihat oleh kedua matanya (yakni ia mengaku telah bermimpi sesuatu padahal dusta), atau ia mengatakan atas (nama) Rasulullah SAW apa yang beliau tidak pernah sabdakan".
Hadits shahih, riwayat Bukhari (4/157) dan Ahmad (4/106) dan riwayat yang kedua, dari jalannya.

Artinya : Dari Abi Bakar bin Salim dari bapaknya (yaitu Salim bin Abdullah bin Umar) dari kakeknya (yaitu Abdullah bin Umar), ia berkata. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda. "Sesungguhnya orang yang berdusta atas (nama)ku akan dibangunkan untuknya satu rumah di neraka". Hadist shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal di musnadnya (2/22, 103 & 144) dan sanadnya shahih atas syarat Bukahri dan Muslim.

TAKHRIJUL HADITS
Hadits "man kadzaba a'laiya" dan yang semakna dengannya tentang ancaman berdusta atas Rasullah SAW, derajadnya MUTAWATIR. Telah diriwayatkan oleh berpuluh-puluh sahabat, sehingga dikatakan sampai dua ratus orang sahabat meriwayatkannya. Dan tidak satupun hadits mutawatir yang derajadnya lebih tinggi dari hadits "man kadzaba a'laiya".
(baca : Syarah Muslim (1/68) An-Nawawi, Fathul Bari (1/213) Ibnu Hajar. Tuhfatul Ahwadziy syarah tirmidzi (7/418-420).

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits di atas memberikan beberapa faedah yang menunjukan :

Nabi SAW sering menyampaikan dan mengulang-ulang sabdanya tersebut.

Perhatian yang besar para sahabat dalam memelihara, dan menjaga betul-betul sabda Nabi SAW dan segala sesuatu yang disandarkan orang kepada beliau SAW. Sehingga mereka saling berpesan dan berwasiat dan meriwayatkannya sesama mereka. Kemudian mereka menyampaikannya kepada Tabi'in dan Tabi'in menyampaikannya kepada Atba'ut Tabi'in dan seterusnya tercatat dan terpelihara dengan baik dan rapi di dewan-dewan Imam-imam Sunnah. Sehingga sepanjang pemeriksaan saya -hampir-hampir- tidak ada satupun Imam dari Imam-imam ahli hadits melainkan meriwayatkannya di kitab-kitab hadits mereka. Dari Amirul Mu'minin fil hadits Al-Imam Bukhari sampai Imam Ibnul Jauzi radiiyallahu 'anhum wa jazaahumullahu 'anil Islam khairan.

Ketinggian derajadnya dalam kesahihan dan kemutawatirannya dan mencapai tingkat teratas dalam martabat hadits-hadits mutawatir.

Kebesaran maknanya yang meliputi beberapa faedah dan sejumlah qaidah dan menutup pintu kerusakan-kerusakan yang besar dalam Agama ini, disebabkan berdusta atas nama Nabi SAW.

LUGHOTUL HADITS
Sabda Nabi Saw : ....palyatabawaa... = hendaklah ia mengambil

Artinya : Maka hendaklah ia mengambil untuk dirinya satu tempat tinggal (yakni di neraka). Dikatakan : Seorang mengambil tempat, (yakni) apabila ia mengambilnya sebagai tempat tinggalnya (tempat menetap atau rumahnya). Maka sabda Nabi SAW. "Hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". bentuk perintah yang maknanya kabar, atau bermakna mengancam, atau maknanya mengejek dan marah, atau mendo'akan pelakunya yakni semoga Allah menempatkannya di neraka".
(Al-Fath 1/211 dan syarah Muslim 1/68).

Saya berpandangan : Bahwa tempat tinggal yang dimaksud telah dijelaskan di hadits nomor 10, yaitu Allah SWT telah disediakan untuknya satu rumah di neraka. Wallahu 'Alam.

SYARAH HADITS
Menurut Imam Nawawi (rahimahullahu) hadits ini meliputi beberapa faedah dan sejumlah qawaa'id, diantaranya :

Ketetapan tentang qa'idah dusta bagi Ahlus Sunnah. (akan datang penjelasannya).

Sangat besar pengharaman dusta atas nama beliau SAW, dan merupakan kekejian dan kebinasaan yang sangat besar.

Tidak ada perbedaan tentang haramnya berdusta atas nama Nabi SAW baik dalam masalah-masalah ahkam (hukum-hukum) atau bukan, seperti ; tarhib dan nasehat-nasehat dan lain-lain. Maka semuanya itu adalah haram dan sebesar besar dosa besar dan seburuk-buruk perbuatan menurut ijma' kaum muslimin.

Haram meriwayatkan hadits maudlu'/palsu atas orang yang telah mengetahui kemaudlu'annya atau berat sangkaan bahwa hadits tersebut maudlu'. Maka barangsiapa yang meriwayatkan satu hadits yang ia ketahui atau berat sangkaannya bahwa hadits itu palsu dan ia tidak menjelaskan kepalsuannya, maka ia termasuk kedalam ancaman hadist di atas dan tergolong orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW.

Diringkas dari syarah Muslim 1/69-71 dan baca juga Al-Fath 1/210-214 & 7/310.
Baca SelengkapnyaAncaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW 1

Rabu, 29 Juni 2011

Sejarah Singkat Imam Syafi'i

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay.

Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”

Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.


Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.

Sumber: http://muslim.or.id/?p=9

Baca SelengkapnyaSejarah Singkat Imam Syafi'i

Apakah Puasa Hari Sabtu Terlarang

Sebagaian kalangan ada yang mempermasalahkan berpuasa pada hari Sabtu. Terutama jika puasa Arofah, puasa Asyuro atau puasa Syawal bertepatan dengan hari Sabtu. Apakah boleh berpuasa ketika itu? Semoga pembahasan berikut bisa menjawab keraguan yang ada.

Larangan Puasa Hari Sabtu

Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,

لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

“Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.”[1] Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh (telah dihapus). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Beberapa Puasa Ada yang Dilakukan pada Hari Sabtu

Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad.

Dari Ummu Salamah, ia berkata,

كان أكثر صومه السبت و الأحد و يقول : هما يوما عيد المشركين فأحب أن أخالفهم

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.”[2]

Kedua: Boleh berpuasa pada Hari Jum’at dan Sabtu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan berpuasa pada hari Jum’at asalkan diikuti puasa pada hari sesudahnya (hari Sabtu).Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم يوم الجمعة إلا بيوم قبله أو يوم بعده .

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila seseorang berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.”[4] Dan hari sesudah Jum’at adalah hari Sabtu.

Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.

Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan puasa Muharram dan kadangkala bertemu dengan hari Sabtu.

Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.

Ketujuh: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya dan kadangkala juga akan bertemu dengan hari Sabtu.

Dan masih banyak hadits yang menceritakan puasa pada hari Sabtu.[5]

Dari hadits yang begitu banyak (mutawatir), Al Atsrom membolehkan berpuasa pada hari Sabtu. Pakar ‘ilal hadits (yang mengetahui seluk beluk cacat hadits), yaitu Yahya bin Sa’id enggan memakai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu dan beliau enggan meriwayatkan hadits itu. Ha ini menunjukkan lemahnya (dho’ifnya) hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu.[6]

Murid Imam Ahmad –Al Atsrom dan Abu Daud- menyatakan bahwa pendapat tersebut dimansukh (dihapus). Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini syadz, yaitu menyelisihi hadits yang lebih kuat.[7]

Namun kebanyakan pengikut Imam Ahmad memahami bahwa Imam Ahmad mengambil dan mengamalkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu, kemudian mereka pahami bahwa larangan yang dimaksudkan adalah jika puasa hari Sabtu tersebut bersendirian. Imam Ahmad ditanya mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Beliau pun menjawab bahwa boleh berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikutkan dengan hari sebelumnya.[8]

Kesimpulan:

1. Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh berpuasa pada hari Sabtu.
2. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.[9]

Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang paling bagus jika kita mengatakan bahwa puasa hari Sabtu diperbolehkan jika tidak bersendirian. Sangat bagus sekali jika hal ini lebih dirinci lagi. Rincian yang sangat bagus mengenai hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut.

Keadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.

Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.

Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.

Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .

Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-[11]

Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai Puasa pada Hari Sabtu

Berikut Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arofah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arofah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arofah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arofah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arofah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai Ketua.[12]

Demikian pembahasan kami yang singkat ini. Semoga dengan pembahasan ini dapat menghilangkan keraguan yang selama ini ada mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H





[1] HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 960. Mengenai perselisihan pendapat mengenai hadits ini akan kami singgung insya Allah.

[2] Shahih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir, no. 8934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari no. 1986.

[4] HR. Ibnu Majah no. 1723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/73-75, ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql.

[6] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/75.

[7] Idem

[8] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/76.

[9] Ini kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/75-76.

[10] HR. Bukhari no. 1986.

[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.

[12] Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 11747, juz 10, hal. 397, Mawqi’ Al Ifta’
Baca SelengkapnyaApakah Puasa Hari Sabtu Terlarang

Wanita Hitam Pemetik Surga

Oleh Ustadz Abu Adib

Alhamdulillahi Robbil’alamin…segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memberikan kemudahan kepada kami untuk menulis risalah yang singkat ini. Para pembaca yang mulia, judul risalah diatas mengingatkan pada kita semua tentang kisah wanita hitam dimasa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Diriwayatkan oleh ‘atha’ bin Abi Rabah, dia berkata: “Telah berkata kepadaku Abdullah bin Abbas: “maukah engkau aku perlihat seorang wanita penghuni surga?” maka aku berkata : “tentu!”. Kemudian ‘Abdullah berkata: “Wanita hitam dia pernah mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lalu ia berkata: “ aku kena penyakit ‘usro’u (ayan/epilepsy), jikalau penyakitku kambuh auratku tersingkap. Maka do’akanlah kepada Allah agar sembuh penyakitku”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “jikalau aku do’akan kepada Allah, pasti kamu akan sembuh. Akan tetapi jikalau kamu sabar maka bagimu surga”. Maka wanita hitam itu berkata: “Ashbiru (aku akan sabar), akan tetapi do’akan kepada Allah agar tiap kali kambuh penyakitku, auratku tidak tersingkap”. Maka Nabi pun mendo’akannya sehingga tiap kali kambuh, Allah Ta’ala menjaga auratnya.

Dari kisah Hadits diatas kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga, dimana seorang wanita berkulit hitam yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat, ditambah lagi wanita itu terkena wabah penyakit ayan, suatu penyakit yang sangat menjijikkan, akan tetapi Allah Ta’ala memuliakan wanita itu dengan surga disebabkan karena ketaqwaan dan kesabaran. Rasa malu dan ketaqwaannya telah mengantarkan dirinya untuk sabar dalam menderita penyakit serta musibah yang dideritannya. Sifat taqwa dan rasa malu itu nampak ketika wanita itu berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimana saat penyakitnya kambuh menyebabkan dia kehilangan kesadaran sehingga auratnya tersingkap. Wanita hitam itu malu auratnya kelihatan ketika dia dalam keadaan tidak sadar. Allahu Akbar….

Dalam keadaan tidak sadarpun wanita itu malu auratnya kelihatan apalagi dalam keadaan sadar? Coba kita bandingkan dengan wanita abad ini!. Dalam keadaan sadarpun mereka berani bahkan sengaja menampakkan auratnya. Mereka berpakaian tapi nampak betisnya, nampak pahanya, nampak dadanya, dan ditambah lagi mereka itu bangga dengan kelakuannya seolah-olah mereka berkata “ lihatlah betisku! Lihatlah pahaku! Lihatlah dadaku! Lihatlah wajahku!. Dan ketika dia berjalan, kemudian ada laki-laki yang pandangannya tertuju padanya, maka dalam hatinya wanita itupun senang dan bangga atas apa yang telah diperbuatnya. Na’udzu billah. Dirinya tidak sadar kalau kelakuannya telah membuat kerusakan dan fitnah di muka bumi. Demikianlah pembaca yang mulia hilangnya ketaqwaan dan rasa malu telah mengantarkan wanita-wanita sekarang kepada perbuatan yang hina dan keji. Sungguh telah benar apa yang disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Apabila kamu tidak malu maka berbuatlah semaumu”(HR/ Bukhari. No 3483)

Wanita-wanita sekarang sadar, bahkan sangat sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Mereka bukanlah wanita-wanita yang gila atau wanita-wanita yang mengalami gangguan kejiwaan, bahkan mereka wanita-wanita yang waras akalnya sehingga sangat sadar dengan apa yang telah dilakukannya, akan tetapi hatinyalah yang tidak pernah menyadari. Perbuatan yang telah mereka lakukan itu bisa mendatangkan fitnah dan kerusakan di muka bumi.

Dan tindakan lain yang tidak kalah mengerikan bahayanya adalah maraknya aksi-aksi pornografi, kontes kecantikan, umbar aurat bisa kita jumpai dimana-mana bahkan secara resmi dipertontonkan melalui siaran-siaran diberbagai media massa yang ada sehingga bisa menjadi hiburan harian bagi orang yang lemah imannya. Masya Allah..kalau kelakuan wanita-wanita bumi pertiwi seperti ini bagaimana negeri ini selamat akan perzinaan.

Faedah yang bisa dipetik dari hadits diatas adalah:

1. Kesabaran atas musibah yang menimpa di dunia akan mewariskan surga
2. Pengobatan berbagai macam penyakit bisa ditempuh dengan do’a dan berlindung dengan penuh kejujuran / sungguh-sungguh kepada Allah dengan disertai pemberian obat
3. Berusaha dengan penuh kemauan adalah lebih baik daripada bersandar pada pemberian keringanan bagi orang yang melihat adanya kemampuan pada dirinya untuk mengembannya, dalam hal itu dia akan memperoleh tambahan pahala.
4. Di perbolehkan untuk tidak berobat
5. Tinnginya rasa malu para shahabat wanita, dimana wanita itu malu kalau auratnya tesingkap walaupun dalam keadaan tidak sadar.

Risalah ini kami tutup dengan nasehat untuk para muslimah:

Wahai saudariku muslimah….janganlah kalian menjadi penyabab datangnya kerusakan dan fitnah di muka bumi, yakni dengan kalian mengumbar aurat.

Wahai saudaraku muslimah….janganlah kalian halalkan aurat kalian untuk dilihat laki-laki yang tidak dihalalkan untuk kalian.

Wahai saudaraku muslimah….hiasilah diri kalian dengan akhlaqul karimah (akhlaq mulia), jangan kalian lakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut bisa menjatuhkan diri kalian kepada kehinaan seperti berkhalwat yaitu berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, berboncengan satu motor atau satu mobil dengan laki-laki yang bukan mahram. Itu semua bisa menjatuhkan harga diri dan kehormatanmu.

Wahai saudaraku muslimah…sibukkanlah diri kalian dengan menuntut ilmu agama karena ilmu agama adalah pelita yang akan menerangi jalan hidupmu.

Wahai saudaraku muslimah…bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, serta ingatlah apa yang telah disabdakan oleh Nabimu shalallhu ‘alaihi wasallam bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah dari kaum wanita. Maka janganlah kalian menjerumuskan diri kalian kedalam neraka. Semoga Risalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Maraji’: Kitab Riyadhush Shalihin

(Buletin Istiqomah Edisi no 34, Masjid Jajar, Solo Rubrik: Muslimah)


Baca SelengkapnyaWanita Hitam Pemetik Surga

Sunnah & Syi’ah, Bersandingan? Mustahil (Bagian 2)

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. hafizhahullah

Nabi Muhammad versi Ahlus Sunnah & Syi’ah

Saudaraku! Anda pasti mengetahui bahwa syarat utama untuk menjadi seorang Muslim ialah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ikrar bahwa sesembahan Anda hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad bin `Abdillâh shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan di antara konsekuensi dari persaksian bahwa beliau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah Anda meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan seluruh wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umatnya.

Oleh karena itu, pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di Padang Arafah, beliau bertanya tentang hal ini kepada para Sahabatnya,

أَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ ؟

Kalian pasti akan ditanya tentang aku, maka apa yang akan kalian katakan? Simaklah jawaban umat Islam yang menghadiri khutbah beliau ini,

قَالُوا: نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ: (اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ) ثَلاَثَ مَرَّاتٍ رواه مسلم

Para Sahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan mengemban risâlah dengan sempurna tanpa ada sedikit pun campuran.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan telunjuknya ke arah langit lalu menunjuk ke arah para sahabatnya seraya berdoa, “Ya Allah, persaksikanlah, Ya Allah persaksikanlah (sebanyak tiga kali).” (H.R. Muslim).

Saya yakin, Anda dan juga seluruh umat Islam di seantero dunia pun demikian, bersaksi bahwa beliau telah sepenuhnya menunaikan amanah, menegakkan agama dan menyampaikan seluruh wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umatnya.

Akan tetapi, tahukah Anda, apa kira-kira sikap dan keyakinan sekte Syi’ah? Anda ingin tahu? Temukan jawabannya pada pengakuan revolusioner mereka, yaitu al-Khumaini berikut ini,

لَقَدْ أَثْبَتْنَا فِيْ بِدَايَةِ هَذَاالْحَدِيْثِ بِأَنَّ النَّبِيَّ أَحْجَمَ عَنِ التَّطَرُّقِ إِلَى اْلإِمَامَةِ فِيْ القُرْآنِ، لِخَشْيَتِهِ أَنْ يُصَابَ الْقُرآنُ بِالتَّحْرِيْفِ، أَوْ أَنْ تَشْتَدَّ الْخِلاَفَاتُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ عَلَى اْلإِسْلاَمِ

Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah imâmah (kepemimpinan) dalam Alqurân;([1]) karena beliau khawatir Alqurân akan diselewengkan, atau timbul perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum Muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk bagi masa depan agama Islam.” [Kasyful Asrâr oleh al-Khumaini 149].

Al-Khumaini belum merasa cukup dengan menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gentar untuk menyampaikan ayat-ayat imâmah kepada umatnya. Lebih jauh, dengan tanpa merasa bersalah al-Khumaini menuduh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyebab terjadinya seluruh perpecahan dan peperangan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam sepeninggal beliau,

وَوَاضِحٌ بِأَنَّ النَّبِيَّ لَوْ كَانَ قَدْ بَلَغَ بِأَمْرِ اْلإِمَامَةِ طَبَقًا لِمَا أَمَرَ بِهِ اللهُ، وَبَذَلَ الْمَسَاعِيَ فِيْ هَذَا الْمَجَالِ، لَمَا نَشَبَتْ فِيْ اْلبُلْدَانِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ كُلُّ هَذِهِ اْلإِخْتِلاَفاَتِ وَالْمُشَاحَنَاتِ وَالْمَعَارِكِ، وَلَمَا ظَهَرَتْ ثَمَّةَ خِلاَفاَتٌ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَفُرُوْعِهِ

Sangat jelas, bahwa Andai Nabi telah menyampaikan perihal imâmah (kepemimpinan), sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya, dan ia benar-benar mengerahkan segala upayanya dalam urusan ini, niscaya tidak akan pernah terjadi berbagai perselisihan, persengketaan dan peperangan ini di seluruh belahan negeri Islam. Sebagaimana di sana tidak akan muncul perselisihan dalam hal ushûl (prinsip) dan juga cabang furû‘ (cabang) agama.” [Kasyful Asrâr oleh al-Khumaini 155].

Mungkin Anda berkata, “Ah ini hanya salah tulis al-Khumaini saja, dan tidak mewakili ideologi kaum Syi’ah.”

Tunggu sejenak Saudara! Coba Anda bandingkan ucapan al-Khumaini di atas dengan dua riwayat berikut:

Al-Kulaini meriwayatkan, bahwa Imam Abu `Abdillâh Ja’far Ash-Shâdiq, menyatakan,

لَوْلاَ نَحْنُ مَا عُبِدَ اللهُ

Andai bukan karena kami, niscaya Allah tidak akan pernah diibadahi. [Al-Kâfi oleh al-Kulaini 1/144]

Mufti sekte Syi’ah pada abad ke-11 H, yang bernama al-Majlisi menambahkan riwayat di atas menjadi,

لَوْلاَهُمْ، مَا عُرِفَ اللهُ وَلاَ يَدْرِيْ كَيْفَ يَعْبُدُ الرَّحْمَنَ

Andai bukan karena para imam, niscaya Allah tidak akan dikenal, dan tidak akan ada yang tahu bagaimana beribadah kepada Ar-Rahmân (Allah). [Bihârul Anwâr 35/29]

Apa perasaan dan pendapat Anda setelah membaca dua riwayat yang termaktub dalam dua referensi terpercaya umat Syi’ah ini?

Berdasarkan kedua riwayat ini, kira-kira apa peranan dan jasa Nabi Muhammad menurut sekte Syi’ah? Mereka meyakini bahwa hingga sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, umat manusia belum juga mengetahui bagaimana harus beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalaulah bukan karena jasa para imam-imam umat Syi’ah, maka tidak ada manusia yang bisa shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Saudaraku! sebagai seorang Mukmin, dapatkah batin Anda menerima tuduhan keji sekte Syi’ah ini kepada Nabi Anda?

Coba sekali lagi Anda bandingkan kedua riwayat ini dengan ucapan al-Khumaini di atas. Al-Khumaini beranggapan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sumber petaka yang menimpa umat ini. Berbagai persengketaan, pertumpahan darah dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah umat berawal dari kegagalan beliau dalam menyampaikan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama yang berkaitan dengan “al imâmah” (kepemimpinan).

Perkenankan saya bertanya, “Menurut hemat Anda, apakah kedua riwayat dan juga ucapan al-Khumaini di atas mencerminkan syahadat “Muhammad Rasulullâh”? Sebagai seorang Muslim yang bersaksi bahwa Muhammad bin `Abdullâh adalah Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa perasaan Anda membaca kedua riwayat dan ucapan al-Khumaini di atas? Kuasakah Anda untuk menutup mata dan telinga dari fakta ini, lalu Anda bergandengan tangan dengan orang-orang yang meyakini demikian itu tentang Nabi Anda?

Bersambung insya Allah

Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com

Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12 Tahun XIII

[1]) Aneh bin ajaib, al-Khumaini meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebebasan untuk menyembunyikan masalah al-Imâmah dari umatnya. Anggapan ini nyata-nyata bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ



Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Mâidah/5: 67).
Baca SelengkapnyaSunnah & Syi’ah, Bersandingan? Mustahil (Bagian 2)

Sunnah & Syi’ah, Bersandingan? Mustahil (Bagian 1)

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. hafizhahullah

Alhamdulillâh, salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga dan Sahabatnya. Penindasan dan kehinaan yang diderita oleh umat Islam saat ini, menjadikan sebagian umat Islam menyerukan agar diadakan konsolidasi antara semua aliran yang ada.

Hanya saja, seruan tersebut sering kali kurang direncanakan dengan baik, sehingga tidak menghasilkan apapun. Di antara upaya konsolidasi dan merapatkan barisan yang terbukti tidak efektif ialah upaya merapatkan barisan Ahlus Sunnah dengan sekte Syi’ah, dengan menutup mata dari berbagai penyelewengan sekte Syi’ah. Konsolidasi semacam ini bukannya memperkuat barisan umat Islam, namun bahkan sebaliknya, meruntuhkan seluruh keberhasilan yang telah dicapai umat Islam selama ini. Karena itu, melalui tulisan ringkas ini, saya ingin sedikit menyibak tabir yang menyelimuti sekte Syi’ah. Dengan harapan, kita semua dapat menilai, benarkah Ahlus sunnah memerlukan konsolidasi dengan mereka?Pandangan Akidah Ahlus Sunnah dan Keyakinan Syi’ah tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala

Sebagai seorang Muslim, Anda pasti beriman bahwa sesembahan Anda hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah Pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya, dan Dia pula yang mengatur semuanya. Demikianlah keyakinan umat Islam secara umum dan syariat dalam Alqurân,

اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ اْلأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ اْلأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًا

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, dan bumi seperti itu pula. Perintah Allah terus-menerus berlaku di antara alam langit dan alam bumi, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Q.S. at-Thalâq/65: 12).

Umat Islam meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentukan takdir seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak ada satu kejadian pun kecuali atas kehendak-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ)

Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, dan ‘Arsy-Nya berada di atas air. (H.R. Muslim).

Pada suatu hari, Sahabat Ubâdah bin Shâmit radhiallahu ‘anhu memberikan petuah kepada putranya dengan mengatakan,

يَا بُنَىَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ. سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ n يَقُولُ: (إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ). يَا بُنَىَّ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ n يَقُولُ: (مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّيْ)

“Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan manisnya iman hingga engkau percaya bahwa sesuatu yang (ditakdirkan) menimpamu, tidak mungkin meleset darimu. Sebaliknya, sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, tidak mungkin menimpamu. Aku mendengar Rasulullâh bersabda, ‘Sesungguhnya, pertama kali Allah menciptakan al-Qalam (Pena), Ia befirman kepadanya, ‘Tulislah.’ Mendengar perintah itu, al-Qalam berkata, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga kiamat tiba.’” (Lalu Sahabat Ubâdah bin Shâmit melanjutkan petuahnya dengan berkata), “Wahai anakku! aku telah mendengar Rasulullâh bersabda,’Barangsiapa mati di atas keyakinan menyelisihi keyakinan ini, maka ia tidak termasuk dari golonganku.” (H.R. Abu Dâwud).

Demikianlah sekelumit tentang akidah umat Islam tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, tahukah Anda apa ideologi sekte Syi’ah? Simaklah ideologi mereka dari riwayat yang termaktub dalam kitab terpercaya mereka, yaitu Al-Kâfi karya al-Kulaini:

Abu Hâsyim al-Ja’fary menuturkan, “Pada suatu hari aku berkunjung ke rumah Abul Hasan (Ali bin Muhammad-pen) ‘alaihissalâm sepeninggal putranya Abu Ja’far (Muhammad-pen). Kala itu aku berencana mengatakan, ‘Seakan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad (al-Hasan bin Ali ) pada saat ini serupa dengan yang dialami oleh Abul Hasan Mûsa dan Ismâîl putra Ja’far bin Muhammad ‘alaihimussalâm.’ Kisah keduanya (Ali dan Muhammad bin Muhammad) serupa dengan kisah keduanya (Mûsa dan Ismâîl bin Ja’far), dikarenakan Abu Muhammad al-Murji menjadi imam sepeninggal Abu Ja’far ‘alaihissalâm. Tiba-tiba Abul Hasan menatapku sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun, lalu ia berkata, ‘Benar, wahai Abu Hâsyim, Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad sepeninggal Abu Ja’far yang sebelumnya tidak Dia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Mûsa (bin Ja’far) sepeninggal Ismâîl (bin Ja’far) suatu pendapat baru yang selaras dengan keadaannya. Kejadian ini sebagaimana yang terbetik dalam jiwamu, walaupun orang-orang yang sesat tidak menyukainya.’“ [Al-Kâfi oleh al-Kulaini 1/327]

Demikianlah Saudaraku! sekte Syi’ah meyakini adanya perubahan pada pengetahuan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga Ia berubah pendapat dan keinginan karena terjadi sesuatu yang di luar pengetahuan dan kehendak-Nya.

Menurut hemat Anda! Mungkinkah seorang Muslim memiliki keyakini semacam ini?

-bersambung insya Allah-

Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com

Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12 Tahun XIII


Baca SelengkapnyaSunnah & Syi’ah, Bersandingan? Mustahil (Bagian 1)

Perkara Yang Di Lalaikan Wanita Muslimah

Pertama: Mewarnai kuku dengan pacar

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ أَوْمَتِ امْرَأَةٌ مِنْ وَرَاءِ سِتْرٍ بِيَدِهَا كِتَابٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَبَضَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَدَهُ فَقَالَ « مَا أَدْرِى أَيَدُ رَجُلٍ أَمْ يَدُ امْرَأَةٍ ». قَالَتْ بَلِ امْرَأَةٌ. قَالَ « لَوْ كُنْتِ امْرَأَةً لَغَيَّرْتِ أَظْفَارَكِ ». يَعْنِى بِالْحِنَّاءِ.

Dari

Aisyah, “Ada seorang perempuan menyodorkan sebuah surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari balik tirai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangan beliau sambil berkata, ‘Aku tidak tahu apakah ini tangan laki-laki ataukah tangan perempuan’. Perempuan tersebut menjawab, ‘Bahkan tangan perempuan’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau memang perempuan tentu engkau akan mewarnai kukumu” yaitu dengan pacar (HR Abu Daud no 4166, dinilai hasan oleh al Albani).

Sangat disayangkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini telah ditinggalkan berganti dengan mewarnai kuku yang panjang dengan kuteks, mirip sudah dengan perempuan-perempuan kafir.

Kedua: Memanjangkan ujung kain bagi perempuan

عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِى عُبَيْدٍ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ ذَكَرَ الإِزَارَ فَالْمَرْأَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « تُرْخِى شِبْرًا ». قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ إِذًا يَنْكَشِفُ عَنْهَا. قَالَ « فَذِرَاعًا لاَ تَزِيدُ عَلَيْهِ ».

Dari Shafiyah binti Abu Ubaid, beliau bercerita bahwa Ummi Salamah, istri Nabi berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membicarakan larangan isbal (celana di bawah mata kaki, ed) bagi laki-laki, “Bagaimana dengan perempuan, wahai Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya perempuan memanjangkan ujung kainnya sebanyak sejengkal (dari mata kaki)”. Ummu Salamah berkata, “Jika demikian, ada bagian tubuh perempuan yang masih mungkin untuk tersingkap”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, ditambahkan satu hasta (dua jengkal)-dari mata kaki-tapi tidak boleh lebih dari itu” (HR Abu Daud no 4117, dinilai shahih oleh al Albani).

Ini adalah suatu sunnah Nabi yang telah ditinggalkan oleh banyak muslimah bahkan meski sudah bertahun-tahun komitmen dengan jilbab.

Ketiga: Betah di rumah

Di antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang shalihah adalah betah berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari laki-laki serta tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Hal ini dengan tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan godaan terbesar bagi laki-laki.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Yang artinya, “Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS al Ahzab:33).

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah kecuali karena ada kebutuhan”.

وذكر أن سودة قيل لها: لم لا تحجين ولا تعتمرين كما يفعل أخواتك ؟ فقالت: قد حججت واعتمرت، وأمرني الله أن أقر في بيتي.
قال الراوي:فوالله ما خرجت من باب حجرتها حتى أخرجت جنازتها.

Disebutkan bahwa ada orang yang bertanya kepada Saudah -istri Rasulullah-, “Mengapa engkau tidak berhaji dan berumrah sebagaimana yang dilakukan oleh saudari-saudarimu (yaitu para istri Nabi yang lain, pent)?” Jawaban beliau, “Aku sudah pernah berhaji dan berumrah, sedangkan Allah memerintahkan aku untuk tinggal di dalam rumah”. Perawi mengatakan, “Demi Allah, beliau tidak pernah keluar dari pintu rumahnya kecuali ketika jenazahnya dikeluarkan untuk dimakamkan”. Sungguh moga Allah ridha kepadanya. (Tafsir al Qurthubi ketika menjelaskan ayat di atas).

Ibnul ‘Arabi bercerita, “Aku sudah pernah memasuki lebih dari seribu perkampungan namun aku tidak menjumpai perempuan yang lebih terhormat dan terjaga melebihi perempuan di daerah Napolis, Palestina, tempat Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api. Selama aku tinggal di sana aku tidak pernah melihat perempuan di jalan saat siang hari kecuali pada hari Jumat. Pada hari itu para perempuan pergi ke masjid untuk ikut shalat Jumat sampai masjid penuh dengan para perempuan. Begitu shalat Jumat berakhir mereka segera pulang ke rumah mereka masing-masing dan aku tidak melihat satupun perempuan hingga hari Jumat berikutnya” (Tafsir al Qurthubi ketika menjelaskan al Ahzab:33).

عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : إن الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ و أقرب ما تكون من وجه ربها و هي في قعر بيتها
Dari Abdullah, dari Nabi beliau bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” (HR Ibnu Khuzaimah no 1685, sanadnya dinilai shahih oleh al Albani).

Keempat: Perempuan ketika keluar rumah tidak mengenakan minyak wangi

عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً ».
Dari Abu Musa, dari Nabi, “Semua mata yang melihat hal yang terlarang itu telah berzina. Perempuan yang memakai wewangian lalu melalui sekelompok laki-laki yang sedang duduk-duduk maka perempuan tersebut adalah demikian dan demikian yaitu pelacur” (HR Tirmidzi no 2786, dinilai hasan oleh al Albani).

عَنِ الأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِىَ زَانِيَةٌ ».

Dari al Asy’ari, Rasulullah bersabda, “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur” (HR Nasai no 5126, dinilai hasan oleh al Albani).

عن يحيى بن جعدة أن عمر بن الخطاب خرجت امرأة على عهده متطيبة فوجد ريحها فعلاها بالدرة ثم قال تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات

Dari Yahya bin Ja’dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khatab ada seorang perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata, “Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mencium bau harum kalian?!! Sesungguhnya hati laki-laki itu ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak memakai wewangian” (HR Abdurrazaq dalam al Mushannaf no 8107).

عن بن جريج عن عطاء قال كان ينهى أن تطيب المرأة وتزين ثم تخرج

Dari Juraij, Atha, seorang tabiin, melarang perempuan yang hendak keluar rumah untuk memakai wewangian dan berdandan (Riwayat Abdur Razaq no 8108).

عن إبراهيم قال طاف عمر بن الخطاب في صفوف النساء فوجد ريحا طيبة من رأس امرأة فقال لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها قال فبلغني أن المرأة التي كانت تطيبت بالت في ثيابها من الفرق

Dari Ibrahim, Umar (bin Khatab) memeriksa shaf shalat jamaah perempuan lalu beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata, “Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai ngompol karena takut (dengan Umar)” (Riwayat Abdur Razaq no 8118).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber: http://ustadzaris.com
Baca SelengkapnyaPerkara Yang Di Lalaikan Wanita Muslimah

Jumat, 24 Juni 2011

Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang

At Tauhid edisi V/23

Oleh: Ammi Nur Baits

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, Yang membolak balikkan hati manusia, Raja yang menguasai segalanya. Siapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan siapa yang disesatkan maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya…

Tawassul dalam tinjauan bahasa dan Al Qur’an

At tawassul secara bahasa artinya mendekatkan diri dengan sesuatu amal (Al Misbahul Munir, 2/660). Bisa juga dimaknai dengan berharap (ar raghbah) dan butuh (Lihat Al Mufradat fi ghoribil Qur’an, 523). Terkadang juga dimaknai dengan “tempat yang tinggi”. Sebagaimana terdapat dalam lafadz do’a setelah adzan: “Aati Muhammadanil wasilata…”. Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa makna “Al Wasilah” pada do’a di atas adalah satu kedudukan di surga yang hanya akan diberikan kepada satu orang saja.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.

Dalam Al Qur’an, kata “Al Wasilah” terdapat di dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”

Dua ayat di atas, terutama surat Al Maidah ayat 35, sering digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai dalil untuk melakukan tawassul yang terlarang. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dalam menafsirkan kalimat: “Carilah Al Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu, sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, akan dibahas tafsir kalimat tersebut dengan merujuk beberapa pendapat para ahli tafsir dalam rangka meluruskan pemahaman tentang kalimat di atas.

Tafsir para ulama tentang makna Al wasilah pada surat Al Maidah ayat 35:

1. Al Jalalain, “carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, maknanya: “carilah amal ketaatan yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah.” (Tafsir Jalalain surat Al Maidah: 35)
2. Ibnu Katsir menukil tafsir dari Qatadah, “Carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, tafsirnya: “mendekatkan diri kepadanya dengan melakukan ketaatan dan amal yang Dia ridhai.”
Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
3. Ibnul Jauzi menyebutkan di antara tafsir yang lain untuk kalimat, “Carilah al Wasilah kepadaNya..” adalah carilah kecintaan dariNya. (Zaadul Masir, surat Al Maidah ayat 35).
4. Sementara Al Baidhawi mengatakan bahwa yang dimaksud: “carilah al wasilah kepadaNya…” adalah mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendekatkan diri pada pahala yang Allah berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.” (Tafsir Al Baidhawi “Anwarut Tanzil” untuk ayat di atas).

Mengingat keterbatasan tempat, hanya bisa dinukilkan beberapa pendapat dari kitab tafsir. Di samping itu, hampir semua ahli tafsir menyampaikan pendapat yang sama dengan empat kitab tafsir di atas ketika menafsirkan ayat tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tafsir yang benar untuk firman Allah: “Carilah al wasilah kepadaNya…” adalah melakukan segala bentuk ketaatan yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah dan menjauhi segala perbuatan maksiat yang bisa menjauhkan diri kita kepada Allah.

Oleh karena itu, sangat tidak benar jika ayat ini dijadikan dalil untuk melakukan tawassul yang tidak disyari’atkan atau tawassul bid’ah. Lebih-lebih jika tawassul tersebut mengandung kesyirikan. Karena kita menyadari bahwa dua perbuatan di atas, nilainya adalah kemaksiatan kepada Allah. Maka siapa yang melakukan tawassul dengan tawassul bid’ah atau tawassul yang mengandung kesyirikan justru dia akan semakin jauh dari Allah. Bukannya dia semakin dicintai Allah tetapi malah justru mendatangkan murka Allah.

Tawassul yang disyari’atkan

Berdasarkan penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Namun di sana ada beberapa amal khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan sebagai bentak bertawassul kepada Allah, di antaranya:

1) Melalui asmaul husna

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya …” (QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.

2) Membaca shalawat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al Albani)

3) Memilih waktu dan tempat mustajab

Ada beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di antaranya:
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.

4) Meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya

Karena keshalehan dan kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Sehingga peluang terkabulkannya do’a seseorang juga bertingkat-tingkat sebanding dengan kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sahabat yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun ada beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.

5) Amal shaleh

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada Engkau lalu kami beriman…” (QS. Ali Imran: 193).
Pada ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassul ketika berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.

Masih banyak bentuk-bentuk tawasul lainnya yang disyari’atkan, namun mengingat keterbatasan tempat tidak bisa disebutkan. Secara ringkas, tawassul yang disyariatkan dapat dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.

Tawassul yang terlarang

Tawassul yang terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi dua macam:

a) Bertawassul dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat.

Tawassul jenis ini adalah tawassul yang terlarang, bahkan terkadang menyebabkan timbulnya perbuatan syirik. Misalnya seseorang bertawassul dengan kedudukan (jaah) Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau kedudukan orang-orang shaleh di sisi Allah. Karena tawassul semacam ini berarti telah menetapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Karena kedudukan siapa pun di sisi Allah itu tidak mempengaruhi terkabulnya doa orang lain yang menggunakannya sebagai sarana tawassul. Kedudukan hanya bermanfaat bagi pemiliknya bukan orang lain. Kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam di sisi Allah hanya bermanfaat bagi do’a beliau saja dan bukan do’a orang lain. Maka do’a kita tidaklah menjadi cepat terkabul hanya gara-gara kita menyebut kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau orang shaleh.

Di antara bentuk tawassul semacam ini adalah tawassul yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada saat membaca shalawat Badr. Dalam shalawat ini terdapat kalimat, yang artinya: “Kami bertawasul dengan sang pemberi petunjuk, Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah, yaitu pasukan perang badar.”
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
[Kedua] Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan do’anya menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul ini termasuk kedustaan atas nama syari’at.
Namun, jika bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan keimanannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini dibolehkan. Karena ini termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman kepada nabi.

b) Tawassul dengan ruh orang shaleh, jin, dan malaikat

Tawassul jenis kedua ini adalah model tawassul yang dilakukan oleh orang-orang musyrik jahiliyah. Mereka meng-agung-kan berhala, kuburan, petilasan orang-orang shaleh karena mereka yakin bahwa ruh orang shaleh tersebut akan menyampaikan do’anya kepada Allah ta’ala. Bahkan bentuk tawassul semacam ini merupakan bentuk kesyirikan yang pertama kali muncul di muka bumi. Kesyirikan yang terjadi pada kaumnya Nabi Nuh ‘alaihi salam. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan awal terjadinya kesyirikan di saat beliau menafsirkan surat Al Baqarah ayat 213. Ibnu Abbas mengatakan, “Jarak antara Adam dan Nuh ada 10 abad. Semua manusia berada di atas syariat yang benar (syariat tauhid). Kemudian mereka berselisih (dalam aqidah). Akhirnya Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi peringatan.”

Ibnu Abbas juga memberi keterangan tentang nama-nama sesembahan kaum Nuh, Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr, Ibnu Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang-orang shaleh di zaman Nuh. Ketika mereka mati, setan membisikkan kaum Nuh untuk memasang batu prasasti di tempat ibadahnya orang-orang shaleh tersebut dan diberi nama dengan nama mereka masing-masing. Kemudian mereka melaksanakannya namun batu itu belum disembah. Sampai ketika generasi ini (kelompok yang memasang batu) telah meninggal dan generasi berikutnya tidak tahu asal mula batu itu, akhirnya batu itu disembah.”

Demikian pula, kesyirikan yang dilakukan kaum musyrikin jahiliyah. Mereka meyakini bahwa Lata, Uzza, Manat, Hubal, malaikat, jin dan beberapa sesembahan lainnya adalah orang-orang shaleh yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah. Allah menceritakan jawaban mereka ketika didakwahi untuk meninggalkan perbuatan tersebut:

1. Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Mereka semua (ruh orang shaleh itu) adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
2. Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az Zumar:3)

Artinya orang musyrik tersebut masih meyakini bahwa yang berkuasa mengabulkan do’a adalah Allah. Sedangkan orang-orang shaleh tersebut hanyalah sarana mereka untuk berdo’a.
Berdasarkan keterangan dari dua ayat di atas, ada satu hal penting yang perlu dicatat bahwasanya menjadikan ruh orang shaleh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah termasuk di antara bentuk beribadah kepada selain Allah yang nilainya syirik besar dan menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Tanya Jawab

• Kita adalah orang kecil yang kedudukannya jauh dari Allah. Maka kita tidak layak meminta langsung kepada Allah. Sebagaimana rakyat ketika mau meminta raja maka selayaknya tidak langsung meminta namun melalui menterinya atau orang yang dekat dengan raja.
Jawab: Orang yang memiliki keyakinan semacam ini berarti menyamakan antara Allah yang Maha Pemurah dan Maha Mengetahui dengan seorang raja yang pelit dan buta dengan keadaan rakyatnya. Maha suci Allah terhadap sikap mereka yang melecehkan ke-Tinggi-an dan ke-Agung-an Allah.

• Manusia semacam kita banyak berlumuran dosa, maka tidak pantas meminta langsung kepada Allah. Namun selayaknya melalui perantara wali Allah baik dari kalangan Malaikat, jin, dan manusia.
Jawab: Pemahaman semacam inilah yang menyebabkan orang-orang jahiliyah tidak mau berdo’a langsung kepada Allah, tetapi melalui perantara ruh-ruh orang shaleh yang mereka wujudkan dalam bentuk prasasti. Bahkan mereka sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah dengan menggunakan sarana dari hasil yang haram. Di antara bukti hal ini adalah:

Pertama, sikap mereka ketika mau membangun ka’bah yang roboh akibat banjir. Kita kenal bahwa umumnya orang kafir Quraisy adalah para saudagar kaya. Namun hasil kekayaan mereka bercampur antara yang halal dan yang haram. Ketika mereka hendak merenovasi ka’bah mereka iuran dengan harta yang diyakini murni 100% halal. Karena harta yang halal itu terbatas maka dana yang terkumpul kurang. Sehingga mereka tidak bisa merampungkan bangunan ka’bah sebagaimana sedia kala. Masih ada bagian yang belum dibangun dan kemudian mereka tandai dengan Hijr (orang mengenalnya dengan hijr Ismail).

Kedua, orang jazirah arab yang bukan penduduk Mekah tidak mau thawaf di ka’bah dengan pakaian mereka yang sudah digunakan ketika melakukan maksiat. Mereka hanya bisa thawaf dengan pakaian asli dari penduduk mekah atau kalau tidak mereka harus thawaf sambil telanjang.

Meskipun demikian, Allah menilai sikap mereka ketika berdo’a dengan ber-tawassul melalui ruh orang shaleh sebagai bentuk kesyirikan. Mungkinkah kita namakan perbuatan ini bukan syirik? Ketentuan siapakah yang lebih baik, Allah ataukah kita? [Ammi Nur Baits]
Print This PostTag: Aqidah, do'a, perantara, syirik, tauhid, tawassul, wasilah
Baca SelengkapnyaTawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang