SALAFY LOMBOK
Blog Ahlussunnah wal jamaah

Cari Blog Ini

Senin, 12 Desember 2011

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (4): Dampak Buruk BID’AH

[Bagian Keempat dari 4 Tulisan]

Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.
[Pertama, amalan bid'ah tertolak]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)

[Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah]

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)

[Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.

Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-

[Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)

Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.

Marilah Bersatu di Atas Kebenaran

Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)

Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,

عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ

Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya

Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun di rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman
Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)

***

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Baca SelengkapnyaMengenal Seluk Beluk BID’AH (4): Dampak Buruk BID’AH

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah

[Bagian Ketiga dari 4 Tulisan]

Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.

[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah

Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.

Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.

Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.

[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an

Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.

Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.

“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)

Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”

Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?

Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.

Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”

Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-

[3] Yang Penting Kan Niatnya!

Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”

Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…

Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”

Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)

Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.

Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.

[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini

Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”

Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?

Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)

Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.

[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!

Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”

Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.

Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)

Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.

Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)

Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.

Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.

Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.

Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?

Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.

***

Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Baca SelengkapnyaMengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?

[Bagian Kedua dari 4 Tulisan]

Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.

[Dalil dari As Sunnah]

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا

“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

[Dalil dari Perkataan Sahabat]

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.

KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?

Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.

Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,

الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة

“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)

Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)

Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.

SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:

KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT

Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)

Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)

Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).

BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR

[Sanggahan pertama]

Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.

Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)

[Sanggahan Kedua]

Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)

[Sanggahan Ketiga]

Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.

Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.

Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.

Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.

Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.

HUKUM BID’AH DALAM ISLAM

Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.

Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)

Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).

Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.

Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.

Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).

Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:

Tidak dilakukan terus menerus.
Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.

Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.

***

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Baca SelengkapnyaMengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (1): Pengertian Bid’ah

[Bagian Pertama dari 4 Tulisan]

Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.

Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)

Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)

SYARAT DITERIMANYA AMAL

Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)

Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut tertolak.

Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77-78)

Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.

PENGERTIAN BID’AH

[Definisi Secara Bahasa]

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)

[Definisi Secara Istilah]

Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).

Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)

Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ

“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)

Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)

Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)

Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.

***

Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Baca SelengkapnyaMengenal Seluk Beluk BID’AH (1): Pengertian Bid’ah

Minggu, 11 Desember 2011

Kisah Taubatnya Tiga Wanita Syi’ah

Bismillahirrahmaanirrahiem, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi dan Rasul termulia, junjungan kami Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

wanita-syiahYa Allah, kepada-Mu kami berlindung, kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami bertawakkal. Engkaulah Yang Memulai dan Mengulangi, Ya Allah kami berlindung dari kejahatan perbuatan kami dan minta tolong kepada-Mu untuk selalu menaati-Mu, dan kepada-Mu lah kami bertawakkal atas setiap urusan kami.

Semenjak lahir, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak.
Kami memang berasal dari keluarga syi’ah asli. Kami tidak mengenal tentang mazhab ahlussunnah wal jama’ah kecuali bahwa mereka adalah musuh-musuh ahlulbait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Mereka lah yang merampas kekhalifahan dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu’anhu, dan merekalah yang membunuh Husain.

Akidah ini semakin tertanam kuat dalam diri kami lewat hari-hari “Tahrim”, yaitu hari berkabung atas ahlul bait, demikian pula apa yang diucapkan oleh syaikh kami dalam perayaan Husainiyyah dan kaset-kaset ratapan yang memenuhi laciku.

Aku tak mengetahui tentang akidah mereka (ahlussunnah) sedikitpun. Semua yang kuketahui tentang mereka hanyalah bahwa mereka orang-orang munafik yang ingin menyudutkan ahlul bait yang mulia.

Faktor-faktor di atas sudah cukup untuk menyebabkan timbulnya kebencian yang mendalam terhadap penganut mazhab itu, mazhab ahlussunnah wal jama’ah.

Benar… Aku membenci mereka sebesar kecintaanku kepada para Imam. Aku membenci mereka sesuai dengan anggapan syi’ah sebagai pihak yang terzhalimi.

Keterkejutan pertama

Ketika itu Aku sedang duduk di sekolah dasar. Di sekolah aku mendengar penjelasan Bu Guru tentang mata pelajaran tauhid. Beliau berbicara tentang syirik, dan mengatakan bahwa menyeru selain Allah termasuk bentuk menyekutukan Allah. Contohnya seperti ketika seseorang berkata dalam doanya: “Hai Fulan, selamatkan Aku dari bencana… tolonglah Aku” lanjut Bu Guru. Maka kukatakan kepadanya: Bu, kami mengatakan “Ya Ali”, apakah itu juga termasuk syirik? Sejenak kulihat beliau terdiam… seluruh murid di sekolahku, dan sebagian besar guru-gurunya memang menganut mazhab syi’ah… kemudian Bu Guru berkata dengan nada yakin: “Iya, itu syirik” kemudian langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku:

“Bukankah doa adalah ibadah?”

“Tidak tahu”, jawabku.

“Coba perhatikan, apa yang Allah katakan tentang doa berikut”, lanjutnya seraya membaca firman Allah:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (Ghaafir: 60).

“Bukankah dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdoa adalah ibadah, lalu mengancam orang yang enggan dan takabbur terhadap ibadah tersebut dengan Neraka?” tanyanya.

Setelah mendengar pertanyaan tersebut, aku merasakan suatu kejanggalan… aku merasa kecewa… segudang perasaan menggelayuti benakku tanpa bisa kuungkapkan. Saat itu aku berangan-angan andaikan aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Lalu kutatap dia untuk kedua kalinya… ia tetap tegar laksana gunung.

Waktu pulang kutunggu dengan penuh kesabaran, Aku berharap barangkali ayah dapat memberi solusi atas permasalahanku ini… maka sepulangku dari sekolah, kutanya ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Bu Guru tadi.

Ayah serta merta mengatakan bahwa Bu Guru itu termasuk yang membenci Imam Ali. Ia mengatakan bahwa kami tidaklah menyembah Amirul Mukminin, kami tidak mengatakan bahwa dia adalah Allah sehingga Gurumu bisa menuduh kami telah berbuat syirik… jelas ayah.

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban ayahku, sebab Bu Guru berdalil dengan firman Allah. Ayah lalu berusaha menjelaskan kepadaku kesalahan mazhab sunni hingga kebencianku semakin bertambah, dan aku semakin yakin akan batilnya mazhab mereka.

Aku pun tetap memegangi mazhabku, mazhab syi’ah; hingga adik perempuanku melanjutkan karirnya sebagai pegawai di Departemen Kesehatan.

Sekarang, biarlah adikku yang melanjutkan ceritanya…

Setelah masuk ke dunia kerja, aku berkenalan dengan seorang akhwat ahlussunnah wal jama’ah. Ia seorang akhwat yang multazimah (taat) dan berakhlak mulia. Ia disukai oleh semua golongan, baik sunni maupun syi’ah. Aku pun demikian mencintainya, dan berangan-angan andai saja dia bermazhab syi’ah.

Saking cintanya, aku sampai berusaha agar jam kerjaku bertepatan dengan jam kerjanya, dan aku sering kali bicara lewat telepon dengannya usai jam kerja.

Ibu dan saudara-saudaraku tahu betapa erat kaitanku dengannya, sebab itu aku tak pernah berterus terang kepada mereka tentang akidah sahabatku ini, namun kukatakan kepada mereka bahwa dia seorang syi’ah, tak lain agar mereka tidak mengganggu hubunganku dengannya.

Permulaan hidayah

Hari ini, aku dan sahabatku berada pada shift yang sama. Kutanya dia: “Mengapa di sana ada sunni dan syi’ah, dan mengapa terjadi perpecahan ini?” Ia pun menjawab dengan lembut:

“Ukhti, sebelumnya maafkan aku atas apa yang akan kuucapkan… sebenarnya kalianlah yang memisahkan diri dari agama, kalian yang memisahkan diri dari Al Qur’an dan kalian yang memisahkan diri dari tauhid!!”

Kata-katanya terdengar laksana halilintar yang menembus hati dan pikiranku. Aku memang orang yang paling sedikit mempelajari mazhab di antara saudari-saudariku. Ia kemudian berkata:

“Tahukah kamu bahwa ulama-ulama kalian meyakini bahwa Al Qur’an telah dirubah-rubah, meyakini bahwa segala sesuatu ada di tangan Imam, mereka menyekutukan Allah, dan seterusnya…?” sembari menyebut sejumlah masalah yang kuharap agar ia diam karena aku tidak mempercayai semua itu.

Menjelang berakhirnya jam kerja, sahabatku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya seraya mengatakan bahwa itu adalah tulisan saudaranya, berkenaan dengan haramnya berdoa kepada selain Allah. Kuambil lembaran-lembaran tersebut, dan dalam perjalanan pulang aku meraba-rabanya sambil merenungkan ucapan sahabatku tadi.

Aku masuk ke rumah dan kukunci pintu kamarku. Lalu mulailah kubaca tulisan tersebut. Memang, hal ini menarik perhatianku dan membuatku sering merenungkannya.

Pada hari berikutnya, sahabatku memberiku sebuah buku berjudul “Lillaah, tsumma littaariekh” (Karena Allah, kemudian karena sejarah). Sumpah demi Allah, berulang kali aku tersentak membaca apa yang tertulis di dalamnya. Inikah agama kita orang syi’ah? Inikah keyakinan kita?!!

Sahabatku pun semakin akrab kepadaku. Ia menjelaskan hakikat banyak hal kepadaku. Ia mengatakan bahwa ahlussunnah mencintai Amirul Mukminin dan keluarganya.

Benar… aku pun beralih menganut mazhab ahlussunnah tanpa diketahui oleh seorang pun dari keluargaku. Sahabatku ini selalu menghubungiku lewat telepon. Bahkan saking seringnya, ia sempat berkenalan dengan kakak perempuanku.

Sekarang, biarlah kakakku yang melanjutkan ceritanya…

Aku mulai berkenalan dengan akhwat yang baik ini. Sungguh demi Allah, aku jadi cinta kepadanya karena demikian sering mendengar cerita adikku tentangnya. Maka begitu mendengar langsung kata-katanya, aku semakin cinta kepadanya…

Permulaan hidayah

Hari itu, aku sedang membersihkan rumah dan adikku sedang bekerja di kantor. Aku menemukan sebuah buku bergambar yang berjudul: “Lillaah, tsumma littaariekh”.

Aku pun membukanya lalu membacanya… sungguh demi Allah, belum genap sepuluh halaman, aku merasa lemas dan tak sanggup merampungkan tugasku membersihkan rumah. Coba bayangkan, dalam sekejap, akidah yang ditanamkan kepadaku selama lebih dari 20 tahun hancur lebur seketika.

Aku menunggu-nunggu kembalinya adikku dari kantornya. Lalu kutanya dia: “Buku apa ini?”

“Itu pemberian salah seorang suster di rumah sakit”, jawabnya.

“Kau sudah membacanya?” tanyaku.

“Iya, aku sudah membacanya dan aku yakin bahwa mazhab kita keliru”, jawabnya.

“Bagaimana denganmu?” tanyanya.

“Baru beberapa halaman” jawabku.

“Bagaimana pendapatmu tentangnya?” tukasnya.

“Kurasa ini semua dusta, sebab kalau benar berarti kita betul-betul sesat dong”, sahutku.

“Mengapa tidak kita tanyakan saja isinya kepada Syaikh?” pintaku.

“Wah, ide bagus” katanya.

Buku itu lantas kukirimkan kepada Syaikh melalui adik laki-lakiku. Kuminta agar ia menanyakan kepada Syaikh apakah yang tertulis di dalamnya benar, ataukah sekedar kebohongan dan omong kosong?

Adikku mendatangi Syaikh tersebut dan memberinya buku itu. Maka Syaikh bertanya kepadanya: “Dari mana kau dapat buku ini?”

“Itu pemberian salah seorang suster kepada kakakku” jawabnya.

“Biarlah kubaca dulu” kata Syaikh, sembari aku berharap dalam hati agar kelak ia mengatakan bahwa semuanya merupakan kebohongan atas kaum syi’ah. Akan tetapi, jauh panggang dari api! Kebatilan pastilah akan sirna…

Aku terus menunggu jawaban dari Syaikh selama sepuluh hari. Harapanku tetap sama, barang kali aku mendapatkan sesuatu darinya yang melegakan hati.

Namun selama sepuluh hari tadi, aku telah mengalami banyak perubahan. Kini sahabat adikku sering berbicara panjang lebar denganku lewat telepon, bahkan ia seakan lupa kalau mulanya ia ingin bicara dengan adikku. Kami bicara panjang lebar tentang berabagai masalah.

Pernah suatu ketika ia menanyaiku: “Apa kau puas dengan apa yang kita amalkan sebagai orang syi’ah selama ini?”. Aku mengira bahwa dia adalah syi’ah, dan dia tahu akan hal itu…

“Kurasa apa kita berada di atas jalan yang benar”, jawabku.

“Lalu apa pendapatmu terhadap buku milik adikmu?” tukasnya. Akupun terdiam sejenak… lalu kataku:

“Buku itu telah kuberikan ke salah seorang Syaikh agar ia menjelaskan hakikat buku itu sebenarnya”.

“Kurasa ia takkan memberimu jawaban yang bermanfaat, aku telah membacanya sebelummu berulang kali dan kuselidiki kebenaran isinya… ternyata apa yang dikandungnya memang sebuah kebenaran yang pahit”, jelasnya.

“Aku pun menjadi yakin bahwa apa yang kita yakini selama ini adalah batil” lanjutnya.

Kami terus berbincang lewat telepon dan sebagian besar perbincangan itu mengenai masalah tauhid, ibadah kepada Allah dan kepercayaan kaum syi’ah yang keliru. Tiap hari bersamaan dengan kepulangan adikku dari kantor, ia menitipkan beberapa lembar brosur tentang akidah syi’ah, dan selama itu aku berada dalam kebingungan…

Aku teringat kembali akan perkataan Bu Guru yang selama ini terlupakan. Kuutus adik lelakiku untuk menemui Syaikh dan meminta kembali kitab tersebut beserta bantahannya. Akan tetapi sumpah demi Allah, lagi-lagi Syaikh ini mengelak untuk bertemu dengan adikku. Padahal sebelumnya ia selalu mencari adikku, dan kini adikku yang justru menelponnya. Namun keluarga Syaikh mengatakan bahwa dia tidak ada, dan ketika adikku bertemu dengannya dalam acara Husainiyyah[1] dan menanyakan kitab tersebut; Syaikh hanya mengatakan: “Nanti”, demikian seterusnya selama dua bulan.

Selama itu, hubunganku dengan sahabat adikku lewat telepon semakin sering, dan di sela-selanya ia menjelaskan kepadaku bahwa dirinya seorang sunni, alias ahlussunnah wal jama’ah. Dia berkata kepadaku:

“Jujur saja, apa yang membuat kalian membenci Ahlussunnah wal Jama’ah?”

Aku sempat ragu sejenak, namun kujawab: “Karena kebencian mereka terhadap Ahlulbait”.

“Hai Ukhti, Ahlussunnah justeru mencintai mereka”, jawabnya.

Kemudian ia menerangkan panjang lebar tentang kecintaan Ahlussunnah terhadap seluruh keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beda dengan Syi’ah Rafidhah yang justeru membenci sebagian ahlul bait seperti isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Benar, kini aku tahu tentang akidah Ahlussunnah wa Jama’ah dan aku mulai mencintai akidah yang sesuai dengan fitrah dan jauh dari sikap ghuluw (ekstrim)… jauh dari syirik… dan jauh dari kedustaan.

Kebenaran yang sesungguhnya mulai tampak bagiku, dan aku pun bingung apakah aku harus meninggalkan agama nenek moyang dan keluargaku? Ataukah meninggalkan agama yang murni, ridha Allah dan Jannah-Nya??

Ya, akhirnya kupilih yang kedua dan aku menjadi seorang ahlussunnah wal jama’ah. Aku kemudian menghubungi akhwat yang shalihah tadi dan kunyatakan kepadanya bahwa hari ini aku ‘terlahir kembali’.

Aku seorang sunni, alias Ahlussunnah wal Jama’ah.

Akhwat tersebut mengucapkan takbir lewat telepon, maka seketika itu meleleh lah air mataku… air mata yang membersihkan sanubari dari peninggalan akidah syi’ah yang sarat dengan syirik, bid’ah dan khurafat…

Demikianlah… dan tak lama setelah kami mendapat hidayah, adik kami yang paling kecil serta salah seorang sahabatku juga mendapat hidayah atas karunia Allah subhanahu wata’aala.

____

(Saudari-saudari kalian yang telah bertaubat)

[1] Ritual kaum Syi’ah dalam rangka memperingati syahidnya Imam Husain bin Ali Radhiyallohu’anhu.



Dipublikasikan kembali oleh www.salafiyunpad.wordpress.com dari http://assunnah-qatar.com

Artikel: http://basweidan.wordpress.com


Baca SelengkapnyaKisah Taubatnya Tiga Wanita Syi’ah

Bukti Kebiadaban Syi’ah Terlaknat Terhadap Kaum Muslimin Dammaj-Yaman!

Berikut ini adalah transkrip dari laporan medis yang dikeluarkan oleh Puskesmas Dammaj… kami menyalinnya dengan penuh keprihatinan. Bukti nyata akan kekejaman kaum syi’ah yg tidak berperikemanusiaan sama sekali, pengecut, dan pengkhianat…

Sejak awal mereka mengklaim tidak pernah mengepung… lalu setelah mendapat tekanan internasional dan perang beberapa hari yg memakan korban ratusan orang, mereka mengklaim telah menyudahi kepungan, dan gencatan senjata. Tapi kondisi di lapangan berbeda 180 derajat ! Blokade masih terus berlangsung… bantuan kemanusiaan mereka rampok sepertiganya… dan tembakan sniper terjadi setiap hari…

semoga laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia selalu menimpa mereka di dunia dan akhirat !!

LAPORAN KESEHATAN YG DIKELUARKAN OLEH PUSKESMAS DAMMAJ TENTANG KONDISI WARGA DAMMAJ

1- Meningkatnya jumlah bayi menyusu dan balita yang meninggal.

2-Meningkatnya kasus anak-anak yang kekurangan gizi secara parah, salah satunya: Abdul Malik bin Yahya Adh Dhubyani, anak umur 1 tahun dengan BB kurang dari 2 Kg ! Ini termasuk kondisi kekurangan gizi parah menurut standar internasional.

3-Meningkatnya kasus sulit melahirkan dan keguguran di antara ibu-ibu, yang sebagiannya disebabkan karena cekaman rasa takut akibat suara2 ledakan, atau karena tidak adanya pertolongan medis. Salah satunya: Istri sdr Mabruk Al Hasyidi (keguguran), istri sdr Razif bin Yahya Abdullah (sulit melahirkan selama 2 hari dan akhirnya janin lahir dlm keadaan mati), istri sdr Abdurrahim Abdullah (sulit melahirkan selama bbrp hari), istri sdr Rabie’ Adh Dhali’iy (sulit melahirkan, pendarahan + tidak sadar).

4-Meningkatnya kasus penderita diare yang sampai ke tingkat dehidrasi, di antaranya:

-Bara’ bin Mujahid Al Khoffaf, 4 tahun, dehidrasi parah.

-Asma’ Abdul Wahid, 2 tahun, dehidrasi parah + radang saluran pernapasan.

-Hisyam Muhammad Abdul Wasi’, 8 tahun, dehidrasi parah.

-Amatul Malik Wahhas, 1.5 tahun, diare + radang saluran pernapasan.

-Rozan Nasywan Al Ba’dani, 1.5 tahun, kejang2, demam, diare, dan dehidrasi.

-Kasus pendarahan hebat yang dialami oleh Yunus Ali Ath Thawwaf, 15 tahun, akibat terkena peluru sniper di jalan pada paha kirinya hingga remuk. Demikian pula Asyraf bin Shalih Al Hamzi (12 tahun) yang tertembak kaki kanannya hingga lumpuh. Kemudian Abdul Basit Abdul Qadir al Adeny (14 tahun) yang tertembak lengan kirinya.

-Kasus kekurangan darah (sickle cell anemia): Amatul Aziz Ali Imran.

-Di samping ini semua, masih banyak kasus-kasus penyakit kronis spt penderita epilepsi, penyakit jantung, TBC, diabetes, dan hipertensi yang terputus pengobatannya akibat blokade.

-Perlu diketahui pula bahwa kami belum bisa mendata semua kasus yang ada karena faktor keamanan, mengingat banyaknya penembakan sniper di jalan-jalan. Jadi kami cukupkan dengan data di atas sebagai sampel. Insya Allah data-data berikutnya akan kami informasikan semampunya.

SCAN LAPORAN ASLI

Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Hudzaifah Al-Atsary
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com
Baca SelengkapnyaBukti Kebiadaban Syi’ah Terlaknat Terhadap Kaum Muslimin Dammaj-Yaman!

Rabu, 07 Desember 2011

Surat dari Abu Fairuz: Kepada Saudaraku di Tanah Air

Ditulis oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy
Dammaj, Ahad 8 Muharrom 1433H


Kepada Saudaraku.. Di Tanah Air

Dari Tholabatul ilmi Indonesia Di Darul Hadits Dammaj Al Khoir

Sehubungan dengan Pemberontakan Rofidhoh Ke-Tujuh
Pendahuluan

الحمد لله رب العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم على محمد وآله أجمعين، أما بعد:


Sesungguhnya pemberontakan Rofidhoh terhadap pemerintah Yaman telah berlangsung bertahun-tahun. Pada pemberontakan mereka yang keenam (tahun 1430-1431H) mereka menyerang Darul Hadits di Dammaj, dan segala pujian bagi Alloh yang menolak kejahatan mereka. Adapun pemberontakan mereka yang ketujuh ini –akhir bulan Dzul Qo’dah 1432 H hingga sekarang (4 Muharrom 1433 H) merupakan kejadian yang paling dahsyat bagi kami para tholabatul ilmi (pelajar) di Darul Hadits di Dammaj. yang mana para pemberontak tersebut menggabungkan antara:

pengepungan untuk menghalangi jamaah haji, mematikan ekonomi masyarakat dammaj dan menghalangi berangkatnya orang sakit dan para wanita hamil untuk berobat atau dirawat di rumah sakit,
boikot makanan, minuman, obat-obatan dan sebagainya
teror dan pembunuhan jarak jauh terhadap para pelajar dan masyarakat Muslimin, laki-laki dan perempuan,
perang media masa, untuk memutarbalikkan fakta bahwasanya para pemberontak Rofidhoh itu telah dizholimi oleh masyarakat Dammaj. Ini semua adalah kedustaan belaka,
pengkhianatan yang berulang-ulang dengan cara membunuh Muslimin setiap kali terbentuk perjanjian damai atau gencatan senjata.


Manakala berita ini telah meluas di seluruh kalangan Muslimin di tanah air, dan kami diminta menyelamatkan diri keluar dari Dammaj, maka saya akan menyampaikan ketetapan hati kami sebagaimana yang tertera berikut ini, -semoga Alloh memberikan taufiq-Nya kepada kita semua-.

Bab Satu: Parahnya Kerusakan Aqidah Pemberontak Rofidhoh

Rofidhoh adalah suatu aliran yang dirintis oleh Abdulloh bin Saba Al Yahudiy, muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه. (Rujuk “Al Hujajul Qothi’ah”/karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy/hal. 11).

Semula mereka mempopulerkan diri dengan sebutan “Syi’atul ‘Ali” atau “Syi’atu Ahlil Bait”. Kelompok yang ghuluw (berlebihan) dari mereka terkenal dengan julukan “Rofidhoh” karena mereka menolak salah seorang imam Ahlul Bait: Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib karena beliau setia dan memuji kepada Abu Bakr Ash Shiddiq dan Umar ibnul Khoththob رضي الله عنهما.

Di antara penyimpangan fatal mereka adalah sebagai berikut:

Satu: Tentang tauhid Uluhiyyah dan nama serta sifat Alloh ta’ala.

Rofidhoh berbuat kesyirikan besar di tempat-tempat pemujaan mereka. (rujuk: “Ad Durorus Saniyyah”/10/hal. 249).
Juga berdoa kepada selain Alloh. (rujuk: “Fatawal Lajnatid Daimah”/18/hal. 313, juga “Darul hadits Bi Dammaj Wa Harbir Rofidhoh”/hal. 19).

Juga bersujud pada para pembesar mereka, dan memerintahkan sebagian wartawan untuk sujud pada pimpinan mereka Abdul Malik Al Hutsiy, beberapa waktu yang lalu, tapi wartawan tersebut menolak.

Mereka banyak meninggalkan masjid-masjid, tapi membangun tempat-tempat perayaan di atas kuburan. Mereka juga beranggapan bahwasanya haji ke tempat-tempat perayaan tersebut termasuk ibadah yang paling agung. Bahkan sebagian ulama mereka lebih mengutamakan haji ke tempat tersebut daripada haji ke Baitulloh. (rujuk: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).
Mereka berkeyakinan bahwasanya orang yang beriman pada nama-nama dan sifat Alloh yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah itu kafir. Juga mengkafirkan orang yang beriman pada taqdir Alloh. (rujuk semuanya: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).

Dua: tentang Rosululloh صلى الله عليه وسلم

Sebagian dari mereka berpendapat bahwasanya kemaluan nabi صلى الله عليه وسلم harus masuk ke dalam neraka karena menggauli istri beliau Hafshoh dan ‘Aisyah رضي الله عنهما. (rujuk semuanya: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).

Tiga: tentang Istri-istri Rosululloh صلى الله عليه وسلم

Kebanyakan dari mereka menuduh ‘Aisyah berzina. (rujuk “Darul hadits Bi Dammaj Wa Harbir Rofidhoh”/karya Asy Syaikh Sa’id Da’as Al Yafi’iy dan Ziyad bin Ali Ar Rodfaniy/hal. 19).
Kebanyakan dari mereka mengkafirkan para ummahatul Mukminin istri Rosululloh صلى الله عليه وسلم seperti ‘Aisyah dan Hafshoh. (rujuk semuanya: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).

Empat: Tentang para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan keluarga beliau

Rofidhoh berkeyakinan bahwasanya para Shohabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor menyembunyikan nash bahwasanya Ali bin Abi Tholib adalah imam yang ma’shum, pengganti Nabi صلى الله عليه وسلم. Maka dengan itu mereka mengkafirkan para shohabat kecuali beberapa orang saja. Juga berkeyakinan bahwasanya Abu Bakr dan Umar itu munafiq atau murtad. (lihat “Maqolatul Islamiyyin” karya Abul Hasan Asy’ariy (1/hal. 16), juga “Darul hadits Bi Dammaj Wa Harbir Rofidhoh”/karya Asy Syaikh Sa’id Da’as Al Yafi’iy dan Ziyad bin Ali Ar Rodfaniy/hal. 19).
Mereka juga banyak mencaci Abu Bakr dan Umar (rujuk: “As Sunnah” karya Al Imam Abu Bakr Al Khollal (3/hal. 493).

Dan mengatakan bahwasanya keduanya bukanlah imam (kholifah). (rujuk: “Siyar A’lamn Nubala”/10/hal.31).

Mereka bersikap berlebihan dalam mengagungkan keluarga Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Sebagian mereka menganggap Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه itulah yang berhak jadi pemegang kekuasaan sepeninggal Rosululloh صلى الله عليه وسلم , hanya saja Abu Bakar Ash Shiddiq dan para shohabat yang lain merebutnya dari tangan beliau –menurut anggapan mereka-

Sebagian dari mereka menganggap bahwasanya Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه itulah berhak jadi nabi, hanya saja malaikat Jibril عليه السلام berkhianat dan menyerahkan wahyu kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم , -menurut anggapan mereka-.

Sebagian dari mereka menganggap bahwasanya Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه itu adalah Alloh.

Lima: Tentang keumuman Muslimin

Mereka mengkafirkan mayoritas umat Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan bahwasanya kekufuran mereka itu lebih parah daripada kekufuran Yahudi dan Nashoro. Mereka juga mengkafirkan setiap orang yang berkeyakinan adilnya Abu Bakr, Umar dan Muhajirin dan Anshor, dan kafirnya orang yang mendoakan ridho bagi mereka.

Mereka juga mengkafirkan para imam di antaranya: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. (rujuk semuanya: “Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam”/28/hal. 477 dst.).
Mereka berkeyakinan bahwasanya harta Muslimin, darah dan kehormatan mereka itu halal mereka rampas. (rujuk: “Al Hujajul Qothi’ah”/karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy/hal. 19, dan “Bayanu Annar Rofidhoh Jami’an Kuffar” karya Abul ‘Abbas Asy Syihriy/hal. 64)

Enam: Tentang pemerintah Muslimin

Mereka berkeyakinan bahwasanya kekuasaan itu tidak sah kecuali jika dipegang keluarga Ali. Mereka juga berkeyakinan bahwa sholat Jum’ah dan jama’ah itu tidak sah kecuali di belakang imam yang ma’shum, sementara imam ma’shum tersebut belum datang hingga sekarang. Oleh karena itu mereka meninggalkan sholat Jum’ah dan Jamaah. (rujuk: “Bayanu Annar Rofidhoh Jami’an Kuffar” /hal. 64).
Oleh karena itu pula mereka tidak mau taat pada pemerintah sekalipun bukan pada kemaksiatan, juga tak mau melaksanakan hukum-hukum mereka. (rujuk: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).

Tujuh: sikap mereka terhadap orang-orang kafir.

Rofidhoh berloyalitas kepada Yahudi dan Nashoro serta musyrikin untuk memerangi mayoritas Muslimin. (rujuk: “Majmu’ul Fatawa”/3/Hal. 356).

Delapan: dalam masalah kejujuran

Mereka menghalalkan kedustaan dan menjadikannya sebagai dasar dan syiar agama mereka. (rujuk: “Mizanul I’tidal”/1/hal. 6).

Seluruh sifat kemunafikan (jika dia berbicara maka dia berdusta. Jika dia berjanji maka dia mengingkarinya, dan jika dia dipercaya maka dia akan berkhianat) ada pada mereka (rujuk: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).

Kedustaan dan kebohongan mereka atas nama nabi صلى الله عليه وسلم, kerabat dan shohabat beliau melebihi kedustaan ahlul kitab, sebagaimana hasil penelitian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله (rujuk semuanya: “Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 477 dst.).
Sembilan: dalam beberapa masalah fiqh

Mereka meyakini halalnya nikah mut’ah, bolehnya meminjamkan kemaluan istrinya, dan bolehnya menggauli istrinya di duburnya. (rujuk: “Bayanu Annar Rofidhoh Jami’an Kuffar” karya Abul ‘Abbas Asy Syihriy/hal. 64).

Sepuluh: dalam masalah Al Qur’an

Mereka meyakini bahwasanya Al Qur’an tidak selamat dari penambahan dan pengurangan. (lihat “Nahjus Salamah”/karya Al Alusiy/hal. 29-30, dan “Ash Shorimul Maslul”/karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah/hal. 518).

Mereka sendiri membikin pen
ambahan ayat-ayat tertentu di dalam Al Qur’an. (lihat “Al Hujajul Qothi’ah”/karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy/hal. 14 dan 40).

Itu semua adalah kebatilan yang sangat besar, bukan semata-mata masuk dalam perkara khilafiyyah atau ijtihadiyyah atau cabang, menurut sebagian orang, akan tetapi hal itu tadi benar-benar masuk dalam inti dan prinsip agama Islam. Hal itu menyebabkan banyak ulama menghukumi bahwasanya Rofidhoh itu kuffar, keluar dari Islam. (rujuk penukilan dari ucapan para ulama dalam: “Al Hujajul Qothi’ah”/karya Asy Syaikh yahya Al Hajuriy/hal. 40, “Bayanu Annar Rofidhoh Jami’an Kuffar” karya Abul ‘Abbas Asy Syihriy, juga “Darul hadits Bi Dammaj Wa Harbir Rofidhoh”/karya Asy Syaikh Sa’id Da’as Al Yafi’iy dan Ziyad bin Ali Ar Rodfaniy/hal. 19, dan juga “Nushush Aimmatid Din ‘Ala kufrir Rofidhotil Mariqin”/karya abu Turob al Indonesiy).

Bab Dua: Wajibnya Membantu Pemerintah Muslimin untuk Menghadapi Ganasnya pemberontak Rofidhoh

Kami Ahlussunnah Wal Jama’ah menimbang segalanya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dengan bimbingan para ulama salafush Sholih. Firman Alloh ta’ala:

﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾.

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa: 115).

Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan syi’ar dari firqoh-firqoh ini adalah : pemisahan diri dari Al Kitab, As Sunnah dan ijma’. Maka barangsiapa berbicara dengan Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ maka dia itu adalah termasuk dari Ahlussunnah Wal Jama’ah.” (“Majmu’ul Fatawa”/3/hal. 346).
Maka yang menjadi timbangan dalam hukum-hukum aqidah hati dan ucapan lisan serta gerakan anggota badan adalah ini tadi, sebagaimana kata Syaikhul Islam رحمه الله : “Hanyalah yang diikuti dalam penetapan hukum-hukum Alloh adalah: Kitabulloh, sunnah Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم dan jalan As Sabiqunal Awwalun. Tidak boleh menetapkan hukum syar’iy tanpa ketiga prinsip ini, baik secara nash ataupun istimbath sama sekali.” (“Iqtidhoush Shirothil Mustaqim”/2/hal. 171).

Kemudian kami dapati kewajiban untuk menghormati pemerintahan Muslimin, menaatinya dalam perkara yang tidak bertentangan dengan syariat, dan menjaganya dari rongrongan siapapun.
Dalam hadits ‘Ubadah Ibnush Shomit rodhiyallohu ‘anhu berkata:

بَايَعْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ ». وعلى أن نقول بالحقّ أينما كنّا لا نخاف في الله لومة لائم.

“Kami membai’at Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami rajin dan malas, dalam keadaan kami merasa sulit dan mudah, dan dalam keadaan kami tertimpa kezholiman, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Lalu beliau bersabda,”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian punya bukti dari Alloh tentangnya.” Dan agar kami berbicara dengan benar di manapun kami berada tanpa merasa takut di jalan Alloh cercaan orang yang mencerca.”
Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

((من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشقّ عصاكم، أو يفرّق جماعتكم، فاقتلوه)).

“Barangsiapa mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian itu satu pada satu orang, orang tadi ingin mematahkan tongkat kalian atau membelah jamaah kalian, maka bunuhlah dirinya.”

Maka dari itu manakala gerombolan Rofidhoh melancarkan pemberontakan pada pemerintah Yaman, membunuhi masyarakat, merampoki harta benda mereka, merusak kehormatan wanita dan anak-anak, dan menebarkan teror yang membikin takut masyarakat dan para tentara dan aparat negara, bangkitlah kepala Darul Hadits As Salafiyyah di Dammaj –Asy Syaikh Al Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy- lewat ceramah-cemarah dan tulisan-tulisan beliau memperingatkan umat akan salahnya langkah Rofidhoh dan bahayanya membiarkan mereka memberontak pemerintahan yang berdaulat. Beliau dalam ibadah yang agung ini dibantu oleh para ulama Ahlussunnah di dammaj dan yang lainnya.

Melalui cemarah-ceramah dan karya tulis yang penuh dengan keberanian dan tak kenal lelah tersebut, berkobarlah semangat aparat pemerintahan dan aparat keamanan beserta kaum Muslimin untuk membendung api pemberontakan Rofidhoh yang tengah bergejolak dengan dahsyat, hingga akhirnya bisa dipadamkan untuk tenggang waktu yang lama.

Bab Tiga: Kebencian Rofidhoh Terhadap Darul Hadits di Dammaj

Menjelang fase pemberontakan yang kelima orang-orang Syiah mulai menuntut pemerintah Yaman untuk menutup Darul Hadits Salafiyyah di Dammaj. Akan tetapi pemerintah menolak karena mereka memahami bahwasanya para Salafiyyun adalah Muslimun yang sibuk belajar dan berdakwah, tidak berminat untuk mencari dunia atau menduduki kursi kekuasaan, dan sangat membenci pergolakan dan dan kekacauan.

Pada fase pemberontakan keenam, di samping menyerang instansi keamanan dan pemerintahan, orang-orang Rofidhoh mulai menyerang Darul Hadits Salafiyyah di Dammaj. Para ulama Darul Hadits Salafiyyah di Dammaj dan pelajar serta masyarakat berjuang mempertahankan pondok. Memang jatuh korban dari masyarakat dan pelajar, akan tetapi dengan pertolongan Alloh, dan kemudian dengan bantuan pemerintah, keganasan Rofidhoh bisa dibendung dengan tewasnya ratusan prajurit mereka. Kemudian terbentuklah perdamaian.

Sepanjang hari-hari perdamaian Rofidhoh secara bertahap berusaha membatasi perekonomian masyarakat Dammaj dan pelajar Darul Hadits, hingga mencapaipuncaknya embargo total yang mereka lakukan pada bulan Dzul Qo’dah 1432 H yang berlanjut dengan penembakan terhadap masyakarat Dammaj dan pelajar Darul Hadits Salafiyyah di Dammaj.

Bab Empat: Tekad Kami Untuk Mempertahankan Darul Hadits di Dammaj dari Keganasan Pemberontak Rofidhoh

Pemberontak Rofidhoh mulai terang-terangan melancarkan serangan bersenjata pada hari Kamis tanggal 7 Dzul Hijjah 1432 H, dan pada hari berikutnya (Jum’at, 8 Dzul Hijjah 1432 H) mereka menembak mati pelajar yang masih sangat muda dari Abyan: Mu’adz Al Yazidiy رحمه الله ketika dirinya mau berangkat ke Madrosah

Syaikh Yahya Al Hajuriy beserta para kepala kabilah Wadi’ah di Dammaj berusaha mencari jalan damai untuk menolak keganasan pemberontak Rofidhoh. Lajnah Ishlah menjembatani kedua belah pihak. Kesepakatan damai dilanggar Rofidhoh dengan menembak mati pelajar dari Ta’iz: Ali bin Sulthon At Ta’ziy pada malam Kamis (14 Dzul Hijjah 1432H).
Pada hari Rabu pagi (20 Dzul Hijjah 1432H) suasana tenang dengan tercapai gencatan senjata dengan masuknya Lajnah Ishlah. Ternyata pada sore harinya Rofidhoh mengkhianati gencatan senjata dengan menembak punggung pelajar dari Ta’iz: Ismail At Ta’ziy.
Demikianlah, setiap kali terjadi kesepakatan damai, selalu saja pemberontak Rofidhoh melanggarnya dengan melakukan penembakan, hingga korban terus berjatuhan.
Dan puncak dari kebengisan pemberontak Rofidhoh tersebut –untuk sementara ini- adalah kejadian hari Sabtu (1 Muharrom 1433 H, pukul 11.00 WY) yang mana Rofidhoh menghujani gunung Barroqoh (batas penjagaan thullab dan masyarakat Dammaj sebelah barat) dengan puluhan bom jarak jauh dan hujan peluru dengan berbagai jenisnya, yang disusul serbuan jarak dengan pasukan pemberontak yang bertekad untuk menguasai wilayah tersebut. Serangan tersebut berlangsung sepanjang hari hingga sekitar pukul 19.30 WY), yang menyebabkan meninggalnya 25 Muslimin (pelajar dan masyarakat) dan 54 luka-luka. Akan tetapi Alloh ta’ala menggagalkan serangan mereka dan merekapun menghentikan serangan dengan banyaknya prajurit yang terbunuh dari pihak mereka.
Termasuk dari Muslimin yang meninggal adalah saudara kami Sholih (medan) dan Abu Haidar (Aceh) , sehingga menimbulkan kesedihan yang mendalam. Akan tetapi kami punya harapan besar akan diterimanya keduanya –dan saudara-saudara mereka yang lainnya- sebagai Syuhada di sisi Alloh. Alloh taala berfirman:
{وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ (4) سَيَهْدِيهِمْ وَيُصْلِحُ بَالَهُمْ (5) وَيُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمْ (6) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُم} [محمد: 4 - 7]

“Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan membimbing mereka dan memperbaiki keadaan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka. Hai orang-orang mukmin, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.”

Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy dengan dukungan Asy Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad dan Al Lajnah Daimah mengumumkan jihad membela diri dari serangan para penjahat Rofidhoh tersebut. Sebelumnya Asy Syaikh Robi’ bin Hadi Al Madkholiy juga menghasung dikumandangkannya jihad untuk membendung kebengisan Rofidhoh tersebut. Demikian pula para ulama Al Azhar di Mesir, dan para ulama yang lain mengumumkan kewajiban untuk membantu Muslimin Salafiyyin Dammaj yang tengah menyabung nyawa mempertahankan diri dari kejahatan Rofidhoh. Kami dengan Asy Syaikh Sholih Al Fauzan juga mengumumkan yang demikian itu.([1])
Kami para pelajar Indonesia yang tinggal dan menimba ilmu di Darul hadits di Dammaj ini merasa sebagai bagian dari Muslimin Dammaj, penderitaan mereka adalah penderitaan kami, kepedihan hati mereka kepiluan kami. Maka kami bertekad untuk sehidup semati dengan mereka dalam menghadang keganasan para pemberontak Rofidhoh. Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Permisalan kaum Mukminin dalam sikap saling cinta, saling mengasihi dan saling menolong di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota badan mengeluh sakit, seluruh jasadpun akan ikut tidak bisa tidur dan menjadi demam.” (HR. Al Bukhoriy (6011) dan Muslim (2586) dari An Nu’man bin Basyir رضي الله عنهما)
Kemudian dari sisi lain, kami selama bertahun-tahun telah merasakan manisnya persaudaraan dan kebaikan hati mereka, maka tidak pantas bagi kami untuk meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini. Maka sebagai salah satu bentuk syukur kami pada mereka, kami akan bersatu sehidup semati dengan saudara-saudara kami itu untuk mempertahankan markiz dan desa ini. Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
ومن صنع إليكم معروفا فكافئوه فإن لم تجدوا ما تكافئوا به فادعوا له حتى تروا أنكم قد كافأتموه. سنن أبي داود [1 /524]

“Dan barangsiapa berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya itu. Jika kalian tidak mendapati sesuatu untuk membalasnya dengan cukup, maka doakanlah dirinya hingga kalian memandang bahwasanya kalian telah membalasnya dengan cukup.” (HR. Abu Dawud (1672), dishohihkan Al Imam Al Albaniy dan Al Imam Al Wadi’iy).
Kemudian juga, tidak pantas bagi kami yang ada di sini membiarkan saudaranya terzholimi dalam keadaan kami sanggup membantu dengan nyawa dan kekuatan. sabda Rasululloh r:
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره،

“seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak menzholiminya, tidak menelantarkannya (membiarkannya tanpa pertolongan), dan tidak meremehkannya.” (HSR Muslim)
Kami tidak menyerang, akan tetapi para pemberontak itulah yang datang ke tempat kami, mengepung dan mengembargo kami dan membunuhi Muslimin. Maka kami tidak boleh lari dari medan perang. Alloh ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوهُمُ الأَدْبَارَ
وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاء بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15-16).
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata:
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات.

“Dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Mereka berkata: “Wahai Rosululloh, apa itu?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh, sihir, membunuh jiwa yang Alloh haromkan kecuali dengan kebenaran, memakan riba, memakan harta yatim, lari dari medan perang pada hari peperangan, dan menuduh berzina wanita yang terjaga, yang beriman, yang tidak berpikir untuk itu.” (HR. Al Bukhoriy (2766) dan Muslim (89)).

Bab Lima: Kesiapan Kami Untuk Menanggung resiko Dalam Membela Agama dan Negri Muslimin

Kewajiban dari Alloh ta’ala ada di atas segalanya, hidup dan mati kami adalah untuk Alloh. Alloh ta’ala berfirman:
{قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين}

“Katakanlah (wahai Rosululloh): Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, kehidupanku dan kematianku adalah untuk Alloh Robbil ‘alamin, tiada sekutu bagi-Nya, dan untuk itu aku diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama masuk Islam (dari umat ini).” (QS. Al An’am: 172-173).
Demikian pula kami sebagai pengikut Rosululloh صلى الله عليه وسلم.
Kami dengan taufiq dan pertolongan Alloh siap menanggung resiko atas pilihan yang kami tempuh. Setiap orang akan mengalami kematian, sesuai dengan catatan taqdir kami. Keluar dari medan perang tidak menjauhkan kami dari kematian yang telah ditetapkan.
Hidup di dunia memang penuh cobaan. Alloh mengawasi siapakah yang sabar dan siapakah yang tidak demikian, lalu semuanya akan mati dan menghadap Alloh untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamalkan.
Bab Enam: Syukur Kami Atas Perhatian Saudara di tanah Air
Kami memahami pemikiran saudara-saudara kami di tanah air yang ingin keluarnya kami dari Dammaj. Kami menyampaikan syukur atas besarnya perhatian Bapak-bapak pemerintah semua. Kami berkeyakinan wajibnya mendengar dan taat kepada perintah kepala Negara dalam perkara yang baik, dan kami berkewajiban membela kehormatan mereka dan kedaulatan mereka, serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
Hanya saja saat ini ada kewajiban yang lebih besar di depan mata kami, yang kami berpandangan bahwasanya kematian lebih ringan daripada berpaling meninggalkan kewajiban ini.
Oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa memenuhi perintah untuk pulang ke tanah air pada saat ini. Kami cinta ilmu dan cinta damai, akan tetapi keadaan mengharuskan kami untuk memalingkan perhatian kepada apa yang ada di depan mata ini. Insya Alloh jika Markiz ini telah selamat dari kejahatan Rofidhoh, kami akan kembali belajar seperti sedia kala, kemudian suatu saat kami akan pulang untuk mendarmabaktikan ilmu yang telah kami timba di sini insya Alloh.
Demikianlah surat pernyataan ini kami susun dengan penuh kesadaran.
والحمد لله رب العالمين.
Dammaj, 8 Muharrom 1433H
Atas nama tholabatul ilmi,
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy
([1]) Catatan penting: Adapun celaan dari sebagian hizbiyyun bahwasanya Darul Hadits Salafiyyah di Dammaj minta bantuan pada teroris Al Qoidah, maka celaan itu bukanlah pada tempatnya, berdasarkan beberapa sisi:

Kalaupun benar bahwasanya Asy Syaikh Al Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله minta bantuan pada mereka, maka tidaklah hal itu salah, karena minta bantuan pada orang fasiq ataupun kafir untuk menghadapi keganasan orang kafir yang lain (yang lebih kafir dan lebih berbahaya dsb) adalah boleh berdasarkan syariat dan fatwa para ulama Sunnah.
Kalaupun benar bahwasanya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy minta bantuan pada mereka, maka tidaklah hal itu salah, karena minta bantuan pada selain Alloh pada saat terpaksa demi mempertahankan hidup yang telah sangat terancam adalah diperbolehkan, dengan syarat hamba Alloh yang dimintai tolong itu masih hidup, hadir, dan punya kemampuan.
Kalaupun benar bahwasanya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy minta bantuan pada mereka, maka tidaklah hal itu salah, jika berdasarkan ijtihad dan ketajaman pandangan beliau bahwasanya kemaslahatannya lebih besar daripada mafsadahnya.
Pertempuran ini, sebagaimana fatwa para ulama, merupakan pertempuran antara Islam dan kufur, bukan semata-mata antara Ahlussunnah dengan Ahlul bid’ah. Makanya yang bangkit untuk menghadang kejahatan Rofidhoh bukanlah Ahlussunnah saja. Banyak hizbiyyun di Yaman (yang bukan Mar’iyyun) telah menyatakan bahwasanya jika Dammaj sampai dikuasai Rofidhoh, pastilah seluruh propinsi So’dah akan dikuasai mereka. Jika itu terjadi, dalam waktu yang dekat mereka akan menguasai seluruh Yaman, sebagaimana dalam rencana rahasia mereka yang telah tersingkap. Yang demikian itu dikarenakan Rofidhoh juga tersebar di berbagai propinsi di Yaman, seperti di Dzammar, Roda’, Hajjah dan yang lainnya. Jika So’dah berhasil mereka kuasai, yang lainpun akan bangkit semangatnya. Oleh karena itulah makanya para hizbiyyun (yang bukan Al Mar’iyyun Al Hussad Al Mukhodzdzilun) pada bulan ini juga memfatwakan wajibnya jihad memerangi Rofidhoh, bukan karena permintaan dari Darul Hadits Dammaj.
Para ulama yang memfatwakan jihad melawan Rofidhoh, pandangan mereka lebih tajam, hati nurani mereka lebih peka, dan rasa kasih sayang mereka lebih besar daripada para masyayikh yang dipenuhi oleh rasa dengki semacam Muhammad Al Imam dan Abdul Aziz Al Buro’iy yang mengatakan bahwasanya peperangan antara Darul Hadits di Dammaj dengan Rofidhoh hanyalah sekedar rebutan gunung. Bukan demikian! Justru peperangan ini adalah perang antara Islam dan kekufuran. Makanya yang diseru untuk bangkit adalah seluruh Muslimin secara umum, sebagaimana Kholifah Harun Ar Rosyid dulunya menyeru seluruh lapisan Muslimin untuk bersatu memerangi Nashoro yang sedang menyerang perbatasan wilayah Muslimin.
Contoh yang lain adalah: seruan Amirul Mukminin Al Mu’tashim billah seluruh lapisan Muslimin untuk berangkat memerangi Romawi yang menyerang perbatasan, hingga berbuntut penaklukan benteng Ammoriyyah yang terkenal itu yang menyebabkan Al Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله memuji dan memaafkan Al Mu’tashim.
Contoh yang lain adalah: seruan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kepada raja Mesir dan pasukannya, dan seluruh lapisan Muslimin di Syam untuk bangkit memerangi pengepungan tartar.
Sengaja ana tidak menampilkan pemakaian Rosululloh صلى الله عليه وسلم Abdulloh bin ‘uroiqith sebagai penunjuk jalan ke Madinah karena diperselisihkan, apakah dia pada waktu itu telah masuk Islam ataukah belum. Akan tetapi contoh-contoh di atas merupakan pemahaman salaf yang tepat.
Telah lewat penjelasan tentang bolehnya minta bantuan pada orang kafir untuk menghadapi orang kafir yang lain. Maka bagaimana jika yang dimintai bantuan tadi adalah orang yang masih muslim?
Jika minta bantuan orang yang masih Muslim untuk memerangi orang Nashoro saja boleh ketika keadaan mengharuskan demikian, maka bagaimana dengan meminta bantuan Muslim untuk memerangi orang-orang yang lebih kafir daripada Nashoro? Syaikhul Islam رحمه الله dan yang lainnya telah menetapkan dengan dalil-dalil bahwasanya Rofidhoh lebih kafir daripada yahudi dan Nashoro
Itu tadi jika Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy meminta bantuan pada Al Qoidah. Kenyataannya adalah bahwasanya beliau sama sekali tidak minta bantuan pada mereka. Merekalah yang bangkit untuk memerangi Rofidhoh tanpa beliau meminta.
Hampir setiap tahun di wilayah selatan terjadi perang antara Al Qoidah dengan Rofidhoh. Sama-sama rebutan kekuasaan. Bukan karena Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy meminta bantuan pada Al Qoidah.
Sebagian orang-orang Al Qoidah dulunya adalah murid Al Imam Al Wadi’iy. Manakala Usamah bin Ladin datang dan menawarkan bantuan bersyarat, beliaupun menolaknya. Akan tetapi beberapa murid beliau tergiur besarnya gaji sehingga meninggalkan beliau dan bergabung dengan dengan Al Qoidah. Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله menghukumi mereka semua sebagai mubtadi’ah. Hanya saja manakala Rofidhoh dengan amat kejam menyerang Dammaj yang sehari-harinya cuma sibuk dengan ilmu dan dakwah, tergeraklah hati para mantan murid tadi untuk membela bekas tempat belajar mereka yang dulu. Asy Syaikh Yahya sudah mengumumkan berlepas diri dari mereka, dan bahwasanya orang-orang Al Qoidah tidak boleh menempel Ahlussunnah. Hanya saja sudut pandang kita di sini adalah: masih ada di kalangan Ahlul bida’ yang punya rohmat pada bekas tempat dia belajar yang dulu, beda dengan beberapa masyayikh dan ustadz-ustadz yang mengaku sebagai murid Al Imam Al Wadi’iy yang tidak peduli akan hancur atau selamatnya markiz beliau sekarang ini.
Sebagaian hizb Mar’iyyun mengejek kami karena salah satu pemimpin pasukan penyelamatan yang datang dari luar adalah anggota Al Qoidah. Ini tidak benar! Beliau telah bertobat dari Al Qoidah sekian lama sebelum Rofidhoh mengganggu Dammaj. Dan beliau telah mengumumkan tobatnya itu sekian lama. Saat Rofidhoh menyerang Dammaj bangkitlah beliau membuktikan kecintaannya pada Sunnah dan salafiyyah walaupun harus mengorbankan nyawa.

Ini baru sebagian jawaban ana yang sangat disegerakan karena terbatasnya waktu. Walhamdulillah.
Daftar Isi
Pendahuluan. 2
Bab Satu: Parahnya Kerusakan Aqidah Pemberontak Rofidhoh. 3
Bab Dua: Wajibnya Membantu Pemerintah Muslimin untuk Menghadapi Ganasnya pemberontak Rofidhoh 7
Bab Tiga: Kebencian Rofidhoh Terhadap Darul Hadits di Dammaj 9
Bab Empat: Tekad Kami Untuk Mempertahankan Darul Hadits di Dammaj dari Keganasan Pemberontak Rofidhoh 9
Bab Lima: Kesiapan Kami Untuk Menanggung resiko Dalam Membela Agama dan Negri Muslimin. 13
Bab Enam: Syukur Kami Atas Perhatian Saudara di tanah Air. 13
Daftar Isi 14
FileHashes
CRC32: 7055D47E
MD5: 80FC13B5729159B2CCB4F18E987D312E
SHA-1: 3D769A3EECF8FF2E870A121F67FCBFC60A8B6BED

Surat Abu Fairuz 8 Muharram 1433H (780.0 KiB, 36 hits)

Sumber: isnad.net
Baca SelengkapnyaSurat dari Abu Fairuz: Kepada Saudaraku di Tanah Air