SALAFY LOMBOK
Blog Ahlussunnah wal jamaah

Cari Blog Ini

Jumat, 10 Januari 2014

Sabtu, 08 Juni 2013

Motivasi Islami: Sukses Tanpa Riba - Dr. Erwandi Tarmizi

Baca SelengkapnyaMotivasi Islami: Sukses Tanpa Riba - Dr. Erwandi Tarmizi

Ceramah singkat- kisah kejujuran yang berbuah manis - ustadz Mizan Qudsiah, Lc.

Baca SelengkapnyaCeramah singkat- kisah kejujuran yang berbuah manis - ustadz Mizan Qudsiah, Lc.

Datangnya Sifat Malas

Setiap muslim ada yang mengalami masa semangat dan ada yang mengalami rasa malas. Namun ada rasa malas yang tercela dan ada yang masih terpuji. Dan rasa malas yang datang ini sifatnya naluri yang bisa jadi ditemukan ketika beramal atau ketika kita belajar ilmu diin. Setiap Orang Bisa Futur (Kendor Semangat) عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَيَحْيَى بْنُ جَعْدَةَ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ قَالَ ذَكَرُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَوْلاَةً لِبَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّهَا قَامَتِ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَكِنِّى أَنَا أَنَامُ وَأُصَلِّى وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ فَمَنِ اقْتَدَى بِى فَهُوَ مِنِّى وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدِ اهْتَدَى » Dari Mujahid, ia berkata, aku dan Yahya bin Ja’dah pernah menemui salah seorang Anshor yang merupakan sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, para sahabat Rasul membicarakan bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib. Ia berkata bahwa ia biasa shalat malam (tanpa tidur) dan biasa berpuasa (setiap hari tanpa ada waktu luang untuk tidak puasa). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Akan tetapi aku tidur dan aku shalat malam. Aku pun puasa, namun ada waktu bagiku untuk tidak berpuasa. Siapa yang mencontohiku, maka ia termasuk golonganku. Siapa yang benci terhadap ajaranku, maka ia bukan termasuk golonganku. Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa malasnya. Siapa yang rasa malasnya malah menjerumuskan pada bid’ah, maka ia sungguh telah sesat. Namun siapa yang rasa malasnya masih di atas ajaran Rasul, maka dialah yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad 5: 409). عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِيهَا كَانَ يَشْغَلُهُ الصَّوْمُ وَالصَّلاَةُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَمَا زَالَ بِهِ حَتَّى قَالَ لَهُ « صُمْ يَوْماً وَأَفْطِرْ يَوْماً ». وَقَالَ لَهُ « اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى كُلِّ شَهْرٍ ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ « اقْرَأْهُ فِى كُلِّ خَمْسَ عَشْرَةَ ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ « اقْرَأْهُ فِى كُلِّ سَبْعٍ ». حَتَّى قَالَ « اقْرَأْهُ فِى كُلِّ ثَلاَثٍ ». وَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَةً وَلِكُلِّ شِرَةٍ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ شِرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ » Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa ia telah menikahi wanita dari Quraisy, namun ia tidaklah mendatanginya (menyetubuhinya) karena sibuk puasa dan shalat (malam). Lalu ia menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, “Berpuasalah setiap bulannya selama tiga hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan padanya, “Puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata padanya, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam sebulan sekali.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 15 hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 7 hari.” Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Khatamkanlah setiap 3 hari.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ingatlah setiap amalan itu ada masa semangatnya. Siapa yang semangatnya dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka dialah yang binasa.” (HR. Ahmad 2: 188. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, demikian kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) عَنْ جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ ، قَالَ : ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْلًى لِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يُصَلِّي وَلا يَنَامُ ، وَيَصُومُ وَلا يُفْطِرُ ، فَقَالَ : ” أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ “. Dari Ja’dah bin Hubairah, ia berkata bahwa disebutkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib, ia shalat (malam) namun tidak tidur. Ia puasa setiap hari, tidak ada waktu kosong untuk tidak puasa. Lalu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri shalat (malam) namun aku tetap tidur. Aku puasa, namun lain waktu aku tidak berpuasa. Ingatlah, setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” (HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir 2: 284. Ja’dah bin Hubairah dalam riwayat ini diperselisihkan apakah ia seorang sahabat. Riwayat ini mursal sebagaimana ta’liq atau komentar Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam musnad Imam Ahmad 5: 409) Beberapa riwayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang akan semangat dalam sesuatu, dan waktu ia kendor semangatnya. Dan di antara sebab mudah futur (malas dalam ibadah) adalah karena terlalu berlebihan dalam suatu amalan. Sehingga sikap yang bagus adalah pertengahan dalam amalan atau belajar, tidak meremehkan dan tidak berlebihan. — Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id Dari artikel 'Datangnya Sifat Malas — Muslim.Or.Id'
Baca SelengkapnyaDatangnya Sifat Malas

Pertemuan Dengan Para Nabi Ketika Isra’ Mi’raj

Isra’ adalah diperjalankannya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari. Mi’raj adalah diangkatnya beliau ke langit. Salah satu hadits yang membicarakan Isra’ Mi’raj adalah hadits berikut ini. Dari Sa’id bin Al Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « حِينَ أُسْرِىَ بِى لَقِيتُ مُوسَى – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – ». فَنَعَتَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا رَجُلٌ – حَسِبْتُهُ قَالَ – مُضْطَرِبٌ رَجِلُ الرَّأْسِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ – قَالَ – وَلَقِيتُ عِيسَى ». فَنَعَتَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا رَبْعَةٌ أَحْمَرُ كَأَنَّمَا خَرَجَ مِنْ دِيمَاسٍ ». - يَعْنِى حَمَّامًا – قَالَ « وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ – صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ – وَأَنَا أَشْبَهُ وَلَدِهِ بِهِ – قَالَ – فَأُتِيتُ بِإِنَاءَيْنِ فِى أَحَدِهِمَا لَبَنٌ وَفِى الآخَرِ خَمْرٌ فَقِيلَ لِى خُذْ أَيَّهُمَا شِئْتَ. فَأَخَذْتُ اللَّبَنَ فَشَرِبْتُهُ . فَقَالَ هُدِيتَ الْفِطْرَةَ أَوْ أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ ». “Ketika aku diisra’kan (diperjalankan), aku bertemu Musa ‘alaihis salam.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifatinya dengan mengatakan bahwa ia adalah pria yang tidak gemuk yang berambut antara lurus dan keriting serta terlihat begitu gagah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun bertemu ‘Isa.” Lalu beliau mensifati ‘Isa bahwa ia adalah pria yang tidak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek dan kulitnya kemerahan seakan baru keluar dari kamar mandi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun bertemu Ibrahim -shalawatullah ‘alaih- dan aku adalah keturunan Ibrahim yang paling mirip dengannya. Aku pun datang dengan membawa dua wadah. Salah satunya berisi susu dan yang lainnya khomr (arak). Lantas ada yang mengatakan padaku, “Ambillah mana yang engkau suka.” Aku pun memilih susu, lalu aku meminumnya.” Ia pun berkata, “Engkau benar-benar berada dalam fithrah. Seandainya yang kau ambil adalah khomr, tentu umatmu pun akan ikut sesat.” (HR. Muslim no. 168). Beberapa faedah dari hadits di atas: 1. Hadits di atas menjelaskan pertemuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Musa’, ‘Isa dan Ibrahim ketika melakukan Isra’, perjalanan di malam hari menuju Baitul Maqdis. 2. Ciri-ciri ketiga Nabi tersebut telah dijelaskan dalam hadits di atas. Dan menentukan ciri-ciri seperti ini mesti dengan dalil karena kita tidaklah melihat mereka secara langsung sehingga membuktikannya harus dengan berita dari Allah dan Rasul-Nya, yaitu dilihat dari dalil Al Qur’an dan As Sunnah. 3. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam paling mirip dengan Nabi Ibrahim dibanding keturunan lainnya. 4. Susu lebih nikmat dari khomr (arak). 5. Meminum khomr bisa membuat sesat. 6. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa besar di mana ketika itu Rasul kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertemu para nabi lainnya. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan peristiwa besar ini dirayakan oleh beliau sendiri dan para sahabatnya. Sehingga bagi yang merayakannya, silakan datangkan bukti. Karena agama bukan dengan logika atau seenaknya mengikuti hawa nafsu semata, tetapi dibangun di atas dalil. قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS. Al Baqarah: 111). Ketika menjelaskan tafsir surat Al Ahqof ayat 11, Ibnu Katsir menyebutkan, وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها “Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka mengatakan bahwa setiap amalan atau perbuatan yang tidak dilakukan oleh para sahabat, maka itu adalah bid’ah. Karena “law kaana khoiron lasabaquna ilaih”, yaitu seandainya amalan tersebut baik, maka tentu para sahabat sudah lebih dahulu melakukannya. Karena mereka -para sahabat- tidaklah meninggalkan suatu kebaikan pun kecuali mereka lebih terdepan melakukannya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, karya Ibnu Katsir, terbitan Ibnul Jauzi 6: 622). 3030 Ibnu Rajab mengatakan, ”Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.” Abu Syamah mengatakan, ”Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 274). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isra’ Mi’raj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rajab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abrar (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25: 298). Baca artikel Muslim.Or.Id lainnya: Perayaan Isra’ Mi’raj dan Kisah Isra’ Mi’raj. Semoga semakin mencerahkan kita akan amalan yang sesuai tuntunan ataukah tidak. Hanya Allah yang memberi taufik. — @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, di pagi hari, Rabu, 26 Rajab 1434 H Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Dari artikel 'Pertemuan Dengan Para Nabi Ketika Isra’ Mi’raj — Muslim.Or.Id'
Baca SelengkapnyaPertemuan Dengan Para Nabi Ketika Isra’ Mi’raj

Kamis, 30 Mei 2013

Syarah Kitab Adabul Mufrod BAB : KEWAJIBAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA

FIRMAN ALLAH TA’ALA, ووصينا الإنسان بوالديه حسنا “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya”. Imam Bukhari memulai kitabnya ini dengan adab dan kewajiban berbakti kepada kedua kedua orangtua, karena adab dan kewajiban berbakti kepada orangtua adalah yang terdepan setelah adab kepada Allah Ta’ala dan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama[1]. Oleh karena itu penekanan masalah ini banyak kita dapatkan di dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama. Bahkan di dalam Al Qur’an perintah berbakti kepada orangtua adalah setelah perintah mentauhidkanNya sebagaimana firman Allah Ta’ala yang dibawakan oleh Imam Bukhari sebagai judul bab pertama kitabnya ini. Allah Ta’ala berfirman, ووصينا الإنسان بوالديه حسنا وإن جاهداك لتشرك بي ماليس لك به علم فلا تطعهما إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.”[2] Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hambaNya berbuat baik kepada kedua orangtua setelah mendorong mereka untuk berpegang teguh dengan men-tauhid-kanNya. Sesungguhnya kedua orangtua adalah sebab adanya manusia dan kebaikan keduanya kepadanya tidak terhitung; ayah dengan nafkah yang diberikannya dan ibu dengan kasih sayang yang dilimpahkannya”.[3] Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا “Dan Robbmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”[4]. Lihatlah di ayat yang mulia ini, betapa Allah Ta’ala menegaskan kewajiban menjaga akhlak terhadap kedua orangtua yang merupakan diantara bentuk bakti kepada keduanya. apalagi kalau orangtua telah menginjak usia senja, kedua orangtua atau salah satunya membutuhkan perhatian, kasih dan sayang sebagaimana dahulu anak membutuhkan hal tersebut dari orangtuanya ketika dia kecil. Kadang terjadi perselisihan antara orang tua dan anak. Atau perdebatan atau anak menyanggah dan membantah perkataan orangtua. Di sini sang anak wajib menjaga adab dan tatakrama kepada orangtua. Jangan berkata kasar, mengucapkan ah saja dilarang oleh Allah apalagi yang lebih dari itu. Ini menunjukkan besar dan tingginya kedudukan serta hak orangtua atas anaknya. Namun begitu, juga perlu diingat bahwa sekalipun Allah Ta’ala memerintahkan anak berbuat baik kepada kedua orangtua karena budi baik dan kasih sayang mereka selama ini. Jika orangtua mengajak atau memerintahkan maksiat atau sesuatu yang bertentangan dengan agama Allah, maka anak tidak wajib mena’ati perintah atau ajakannya itu. oleh karena itu Allah tegaskan di dalam firmanNya di surat Al Ankabut di atas, (yang artinya) “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”. Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Maknanya; jika keduanya memaksamu untuk mengikuti agama keduanya apabila keduanya musyrik maka janganlah kamu mena’ati keduanya dalam hal itu. sesungguhnya dihari kiamat kepadaKulah kamu dikembalikan, maka Aku membalas kebaikanmu kepada keduanya dan kesabaranmu di atas agamamu dan Aku akan mengumpulkanmu bersama orang-orang yang sholeh bukan bersama kedua orangtuamu sekalipun engkau adalah orang yang paling dekat dengan keduanya di dunia, sesungguhnya seseorang itu dikumpulkan bersama orang yang dicintainya, maksudnya cinta yang sejalan dengan agama”.[5] Mari kita mulai mengkaji hadits pertama dalam bab ini. 1. HADITS PERTAMA : AMAL YANG PALING DICINTAI ALLAH ‘AZZA WA JALLA عَنْ أَبِي عَمْرو الشَّيْباَنِي يَقُوْلُ حَدَّثَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلىَ داَرِ عَبْدِ الله قاَلَ : سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلىَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَي قَالَ ثُمَّ بِرُّ اْلوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيْ قَالَ ثُمَّ اْلجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوِ اْستَزَدْتُهُ لَزَادَنِى Dari Abu Amru Asy-Syaibaany ia menuturkan, “Pemilik rumah ini menyampaikan kepada kami – ia menunjuk kea rah rumah Abdullah, ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallama, amal apa yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla? Beliau menjawab, ‘Sholat pada waktunya’. Aku berkata, ‘Kemudian apa lagi?’. Ia berkata, ‘Kemudian berbakti kepada kedua orangtua’. Aku berkata, ‘Kemudian apa lagi?’. Beliau menjawab, ‘Kemudian Jihad di jalan Allah. Dan kalau aku meminta tambahan lagi niscaya beliau menambahkannya”.[6] Syarah hadits : Hadits yang mulia ini menunjukkan apa yang telah dijelaskan di atas yaitu fadhilah dan kewajiban bakti kepada orangtua. Dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama menjadikannya sebagai amalan yang paling afdhol setelah sholat. Kalau sholat adalah ibadah agung yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan Sang Penciptanya, maka bakti kepada kedua orangtua adalah ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan orang yang paling berjasa kepadanya yaitu kedua orangtua. Sholat adalah hak Allah Ta’ala yang wajib ditunaikan oleh hamba. Dan bakti kepada orangtua adalah hak kedua orangtua yang wajib ditunaikan oleh anak. Seperti di dalam dua ayat di atas, Allah Ta’ala menyebutkan perintah bakti kepada kedua orangtua setelah perintah mentauhidkanNya. Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Berbakti kepada keduanya adalah (dengan) berbuat baik kepada keduanya, mengerjakan yang bagus dan menyenangkan keduanya. termasuk di dalamnya berbuat baik kepada teman keduanya”.[7] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “(Berbakti kepada keduanya) adalah berbuat baik kepada keduanya dengan perkataan, perbuatan dan harta sesuai dengan kemampuan”.[8] Banyak sekali hadits-hadits yang berisikan perintah berbakti kepada ke dua orangtua atau salah satunya. Insya Allah hadits tersebut akan kita kaji satu persatu, di bab-bab selanjutnya. Kesimpulan hadits : a) Hadits ini adalah dalil bahwasanya sholat adalah ibadah badaniyah yang paling afdhol setelah syahadatain.[9] b) Hadits ini juga mendorong untuk mengerjakan sholat pada waktunya. Imam An Nawawi menyebutkan, “Mungkin disimpulkan darinya; disukainya mengerjakan di awal waktu, karena itu lebih berhati-hati dalam menjaganya dan menyegerakannya”[10]. bahkan bagi yang kaum pria yang diwajibkan menghadiri sholat berjama’ah di masjid memang harus mengerjakannya diawal waktu. Karena sholat berjama’ah di masjid dilakukan di awal waktu. c) Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”.[11] d) Hadits ini menyebutkan beberapa amalan yang dicintai Allah Ta’ala, ini menandakan bahwa mengerjakan perintah Allah adalah syarat untuk mendapatkan cinta Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di dalam hadits qudsi, وَ ماَ تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ وَ مَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إَلَيَّ باِلنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada apa-apa yang Aku fardhukan atasnya. Dan hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah nafilah sehingga Aku mencintaiNya …”[12]. e) Di dalam hadits ini juga terkandung pengajaran bagi seorang mufti, ahli ilmu dan guru agar bersabar terhadap orang yang bertanya atau muridnya dan berlapang dalam dalam menghadapinya walaupun ia banyak bertanya. f) Seorang murid juga hendaknya menimbang dan memperhatikan kondisi dan maslahat gurunya. Ini disimpulkan dari perkataan Ibnu Mas’ud yang tidak ingin menambah (pertanyaan) karena tidak ingin membebaninya dan ia berkata : kalau aku menambahkan lagi beliau pasti menambahkannya.[13] g) Bentuk-bentuk bakti kepada orangtua : - Melakukan kebaikan untuknya, menjaga hubungan dengannya dan bergaul dengannya dengan akhlak yang baik. - Tidak seyogyanya anak merasa kesal dan sakit hati kepada orangtua. - Tidak mengeraskan suara atau memotong pembicaraannya, tidak berdebat dengannya, dan tidak berdusta kepadanya. Tidak menganggu istirahatnya dan merendahkan diri di hadapannya serta mendahulukannya dalam berbicara maupun berjalan sebagai penghormatan dan memuliakan kedudukannya yang tinggi. - Berterima kasih kepadanya dan mendo’akannya sesuai firman Allah Ta’ala, وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا “dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”[14]. - Mendahulukan dan melebihkan bakti kepada ibu, karena jasa dia yang tak terhingga kepada anak, mulai dari mengandung, melahirkan menyusui dan mendidiknya hingga besar. - Mendahului dan menyegerakan keinginan dan permintaannya. - Merawat dan menjaganya khususnya ketika orangtua telah renta. - Member nafkah kepadanya jika ia membutuhkan, Allah Ta’ala berfirman, قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِي “Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat”.[15] - Meminta izin kepada keduanya sebelum safar dan meminta restunya kecuali dalam haji yang fardhu. Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Termasuk berbuat baik dan bakti kepada keduanya, apabila jihad tidak fardhu ‘ain tidak boleh berjihad kecuali dengan izin keduanya”. - Mendoakannya setelah ia wafat, menunaikan wasiatnya dan berbuat baik kepada teman-temannya.[16] 1. HADITS KEDUA : JALAN MENUJU RIDHO ALLAH DAN MENJAUH DARI MURKANYA عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَر قَالَ : رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا اْلوَالِدِ وَسخط الرَّبِّ فِي سَخطِ الْوَالِد Dari Abdullah bin Umar rodhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Ridho Robb ada pada ridho orangtua dan murka Robb ada pada murka orangtua”.[17] Syarah hadits : Hak orangtua adalah sangat besar, bakti kepada keduanya kewajiban setelah tauhid. Berterima kasih kepada keduanya adalah bagian dari bentuk syukur kepada Allah Ta’ala. Berbuat baik kepada keduanya adalah amal yang sangat dicintai Allah. bahkan ridho keduanya adalah ridho Allah Ta’ala dan murka keduanya adalah murka Allah Ta’ala, karena Allah memerintahkan agar orangtua itu dita’ati, maka barangsiapa yang menjalankan perintah Allah, ia telah berbakti kepada Allah Ta’ala dan Allah ridho kepadanya, sebaliknya jika tidak menjalankan perintah Allah agar berbakti kepada orangtua berarti ia telah menentang Allah maka Allah pun murka kepadanya.[18] Keridhoan orangtua adalah lebih berharga dari pada harta benda. Dunia ini fana, cepat atau lambat pasti sirna. Sedangkan ridho kedua orangtua bermanfaat bagi anak di dunia dan akhirat. Maka seorang anak wajib untuk selalu berusaha membuat orangtuanya ridho dengan perkataan dan perbuatan serta jangan sampai melukai hatinya atau membuatnya murka. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan pada syarah hadits pertama, masalah ini juga dengan syarat selama keridhoan orangtua itu tidak bertentangan dengan apa yang disyari’atkan Allah.[19] KESIMPULAN HADITS : a) Ridho orangtua adalah kunci kebaikan dan pintu keselamatan di dunia dan akhirat. b) Sebaliknya penyebab kesengsaraan dunia dan akhirat adalah durhaka kepada kedua orangtua. (bersambung) [1] Lihat Syarah Riyadhush Sholihih oleh Ibnu Utsaimin (1/368). [2] Al Ankabut : 8. [3] Tafsir Ibnu Katsir (6/264). [4] Al Isro’ : 23-24. [5] Tafsir Ibnu Katsir (6/265). [6] Diriwayatkan oleh Bukhari di Shohihnya (1/140, 4/17, 8/2), Muslim di Shohihnya (kitab Al Iman bab. 36 no. 139), An Nasa-I di Sunannya (kitab Al Mawaaqiit bab. 49) dan Ahmad di Al Musnad (1/410, 439). [7] Syarah Shohih Muslim (2/73 bab. Bayaan Kawnul Imaan billah). [8] Syarah Riyadhush Sholihin (1/368). [9] Dalil Al Falihin (2/ [10] Syarah Shohih Muslim (2/79). [11] Syarah Riyadhush Sholihin Ibnu Utsaimin (1/368). [12] HR. Bukhari dari Abu Huraira(4/231). [13] Ibid. [14] Al Isro : 24. [15] Al Baqoroh : 215. [16] Point-point ini diringkas dari : www.kalemat.org [17] HR. Al Bazzar dan At Tirmidzi serta Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Amru. Dishohihkan oleh Al Albany di Shohih Adabul Mufrod (1/2). [18] Lihat Tuhfatul Ahwazy (6/22), Faidhul Qodhir (4/44). [19] Ibid. This entry was posted in Akhlak, Maafkan Anakmu ..., Syarah Hadits by Abu Zubair Hawaary. Bookmark the permalink.
Baca SelengkapnyaSyarah Kitab Adabul Mufrod BAB : KEWAJIBAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA

Mutiara Nasehat dari Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله السلام عليكم ورحمة الله وبركاته اما بعد يقول الشيخ ابن العثيمين رحمة الله تعالي في شرح حديث “إنما الأعمال بالنيات ” الفائدة السادسة Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata dalam syarah hadits “Innamal A’maalu bin niyaat” pada faedah yang ke enam : “Barangkali suatu negeri mengalami kemerosotan disebabkan sedikitnya ahul ishlah (orang-orang yang mengadakan ishlah – perbaikan) dan banyaknya orang-orang yang rusak serta fasik. Akan tetapi apabila ia (orang yang baik) tetap tinggal di sana dan berdakwah kepada Allah sesuai kemampuannya, maka ia dapat memperbaiki orang lain dan orang lain itu akan memperbaiki yang lain pula, sehingga terbentuklah orang-orang yang baik, di mana mereka akan membawa kebaikan bagi negeri tersebut. Dan apabila mayoritas manusia menjadi baik, galibnya orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan juga akan ikut menjadi baik, sekalipun melalui tekanan-tekanan. Akan tetapi yang merusak ini – sangat disayangkan – adalah orang-orang yang sholeh (baik) sendiri. engkau dapatkan mereka berkelompok-kelompok, berpecah-belah, kalimat mereka saring berselisih hanya karena khilaf (perbedaan dalam satu permasalahan agama yang dibolehkan perbedaan padanya). Inilah realitanya, khususnya di negeri-negeri yang islam belum berdiri kokoh di sana. Terkadang mereka saling memusuhi, membenci karena masalah mengangkat kedua tangan dalam sholat. Dan aku ceritakan di sini kisah yang aku alami sendiri di Mina. Suatu hari datang kepadaku kepala lembaga dari dua kelompok di Afrika, salah satu kelompok mengkafirkan kelompok lainnya. Kenapa?? Salah satunya berkata, “Yang sunnah ketika berdiri dalam sholat seseorang hendaklah meletakkan dua tangannya di atas dada”. Kelompok satu lagi mengatakan bahwa sunnahnya adalah meluruskan tangan dan tidak melipatnya di atas dada. Ini adalah masalah far’iyyah yang mudah, bukan termasuk masalah ushul dan furu’. Mereka mengatakan, “Tidak, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama mengatakan (Barangsiapa yang tidak suka sunnahku tidak termasuk golonganku). Maka orang ini kafir, karena Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama berlepas diri darinya”. Maka berdasarkan pemahaman yang rusak ini, salah satu kelompok mengkafirkan kelompok lainnya. Yang penting; bahwsanya sebagian ahlul ishlah di beberapa negeri yang belum kokoh keislaman di negeri tersebut saling membid’ahkan dan memfasikkan sesama mereka. Kalaulah mereka bersepakat lalu apabila berselisih pendapat, dada mereka lapang menerimanya selama perselisihan itu dalam perkara yang dibolehkan berbeda pendapat dan mereka menjadi seperti satu tangan, niscaya umat ini akan baik. Akan tetapi apabila umat melihat orang-orang yang berdakwah dan istiqomah di antara mereka ada kedengkian dan perselisihan dalam masalah-masalah agama ini, maka umat akan berpaling dari mereka dan dari kebaikan serta petunjuk yang ada pada mereka, bahkan mungkin saja akan terjadi kontak fisik dan inilah yang terjadi wal ‘iyadz billah. Engkau dapatkan seorang pemuda yang mulai menempuh jalan istiqomah karena kebaikan dan petunjuk yang ada dalam agama, dadanya mulai merasakan ketentraman serta hatinya mendapatkan ketenangan, kemudian ia melihat perselisihan, kebencian dan kedengkian di antara orang-orang yang istiqomah lantas akhirnya ia meninggalkan ke-istiqomahan karena ia tidak mendapatkan apa yang dicarinya. Wal hasil, hijrah dari negeri kafir bukanlah seperti hijrah dari negeri fasik. Kita katakana kepada seseorang itu, “Bersabarlah, dan harapkan pahala dari Allah, khususnya jika engkau adalah seorang da’I yang mengajak kepada perbaikan”. Bahkan bisa jadi dikatakan kepadanya : hijrah bagimu hukumnya haram. ===================================================== (diterjemahkan dari kitab Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah halaman : 23-24 oleh Syaikh Al ‘Allaamah Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala.) This entry was posted in Akhlak, Akidah/Manhaj, kata-kata emas by Abu Zubair Hawaary. Bookmark the permalink.
Baca SelengkapnyaMutiara Nasehat dari Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah

SYARAH KITAB AL-ADABUL MUFROD IMAM AL BUKHORI (2) Oleh, Abuz Zubair Hawaary BAB II. [KEWAJIBAN] BERBAKTI KEPADA IBU

Setelah sebelumnya Imam Al Bukhari rahimahullah membawakan ayat dan hadits tentang berbakti kepada kedua orangtua secara umum. Beliau lanjutkan dengan membuat bab tentang bakti kepada ibu sebelum bab berbakti kepada ayah. Hal ini sesuai tuntunan Al Qur’an dan hadits yang mengutamakan ibu atas bapak. Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita, bahwa peran ibu lebih besar dalam hal perjuangan dan kesabarannya di dalam kehidupan ini dibanding ayah. Oleh karena itu Allah menyebutkan ibu secara khusus, untuk mengingatkan bahwa hak ibu lebih besar dibanding hak ayah. Hal ini disebabkan ibu yang mengandung janin di dalam perutnya selama Sembilan bulan; dan dialah yang memberinya segala kebutuhannya berupa makanan dan lain-lain dari darah dan dagingnya. Janin terbentuk di dalam dan dari padanya. Dia makan dan bernapas untuk janinnya dan dirinya sendiri, dia memberikan kesehatan dan kekuatannya kepada janin, sekalipun dia sendiri sangat lemah. Karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orangtua ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua ibu-bapakmu. Hanya kepadaKulah kembalimu’. (Lukman : 14) Ibu mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan berlipat ganda. Setelah dilahirkan, bayi tidak terpisah dari ibunya, bahkan setelah itu ia senantiasa membutuhkannya, menetek dan makan dari ibunya. Setelah bersalin, sang ibu terus memberinya sebagian kesehatannya, sebagaimana memberinya makan sebelum itu. Jika demikian bagaimana ibu tidak lebih utama dibanding bapak? Memang bapak merasa payah karena memperhatikan kepentingan anak-anaknya, tetapi dia tidak merasakan penderitaan seperti yang dirasakan oleh ibu. Ibu tidak suka derita dan siksaan bersalin, tetapi menerimanya karena cintanya pada anak, oleh sebab itu Allah Yang Maha Bijaksana berfirman, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula)”. (Al Ahqoq : 15) Ibu mencintai anak, tetapi tidak mencintai penderitaan. Adapun bapak tidak benci kepada pekerjaan, malam di dalamnya Ia mendapatkan kesenangan dan keuntungan. Karena manusia memiliki fitrah cinta kepada keuntungan. Lebih dari itu, ibu memelihara anak, baik yang bersifat badaniah maupun adabiah, dan mempunyai andil dalam mendidiknya. Dialah sekolah pertama bagi anak; dialah yang mengarahkan, mendidik, dan mengajari bersopan santun; dialah yang selalu mengawasinya …[1]. JAZAAKILLAH KHOIROL JAZA’ DUHAI IBUKU … Ibu ..kata pertama yang kuucapkan ketika mulai belajar berbicara. Kalimat paling indah yang pernah kulang2 … Ingin rasanya kutuangkan ungkapan terima kasih dan sebuah pengakuan kepada ibuku. Sebuah pengakuan dan terima kasih kepada ibuku yang kuyakini telah berjasa kepadaku setelah anugerah dan rahmat Allah Ta’ala. Apapun yang kukatakan, dan apapun yang kulakukan, takkan bisa aku membalas jasamu duhai ibuku. aku takkan melupakan haribaanmu yang penuh kasih sayang Takkan kulupa malam-malam yang engkau lalui tanpa memejamkan mata sepicingpun. Dan hari-harimu yang penuh dengan keletihan. aku tidak lupa ketika kita semua berkumpul mengelilingi hidangan makan di atas tikar pandan, lalu engkau mendahulukan kami dari pada dirimu dengan segala macam makanan dan minuman yang lezat dan enak..bahkan setelah kami mulai tumbuh besar engkaupun masih rela menyuapkan makanan ke mulut kami … Betapa lelahnya engkau wahai ibu, ketika kami terlambat pulang di malam hari karena bermain, seluruh penghuni rumah telah lelap tinggallah engkau menahan kantuk menanti kepulangan kami. Dulu, engkau takut dan khawatir ketika kami bermain ditepi sungai..aku ingat, engkau pernah marah ketika aku bermain ditepian sungai lalu memukulku, ketika itu aku belum mengerti kenapa engkau begitu marah. Tatkala aku besar dan dewasa, anakmu ini mengerti. Semua itu engkau lakukan karena engkau mengkhawatirkan keselamatan aku anakmu!! Aku tidak akan lupa, ketika aku beranjak remaja dan pergi merantau untuk menuntut ilmu engkau ikut bersusah payah bekerja, menumbuk tepung membuat kue dan berjualan mengumpulkan uang dari sana dan sini untuk membantu pendidikan kami anak-anakmu. Ya Allah .. rahmatilah ibuku Betapa letihnya diriku ketika pulang liburan kemudian datanglah saat untuk kembali ketempat perantauan ..hatiku serasa terputus-putus ketika engkau berkata kepadaku, “Mungkin ketika engkau nanti kembali lagi engkau tidak melihatku lagi …”. Alangkah sedih hatiku, setelah bertahun-tahun aku tidak pulang, ketika pertama kali aku berdiri di hadapanmu engkau katakan, “Ini bukan anakku”. Karena kondisi dan penampilanku yang tidak seperti engkau bayangkan … Tak kuasa diriku menahan air mata mendengarnya, membuatku tersungkur memeluk kakimu dan ketika tanganmu membelai kepalaku serasa tetesan-tetesan embun memadamkan kesedihan dan mengobati kerinduan hati. Setelah perjalanan panjang yang kulalui jauh darimu, akupun pulang ..engkau telah beranjak tua dan lemah. Sungguh engkau telah berikan untukku dan saudara-saudaraku tahun-tahun terindah dan paling manis dalam hidupmu. Berapa sering engkau membela kami. Entah berapa banyak pengorbananmu untuk kami. Engkaulah yang telah menanggung keresahan dan kegundahan kami, engkau selalu berusaha mewujudkan keinginan kami sekalipun kami telah besar. Dulu dipanggil fulan .. dan hari hari ini orang memanggilku ustadz fulan..semua itu demi Allah tidak lain dan tidak bukan karena anugerah Allah semata kemudian karena jasamu ibu. aku ini demi Allah tidak lain dan tidak bukan adalah satu dari sekian banyak buah kebaikanmu ibu. Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan sebaik-baik pahala Wahai pemilik senyuman yang tulus, wahai pemilik hati yang dermawan dan penuh kasih sayang Untukmu aduhai bunga yang tak pernah layu Untukmu wahai mata air yang bening Untukmu yang telah mengusap air mataku Untukmu yang telah membasuh kotoranku Yang telah menyuapkan makan dan minum dengan tangannya kemulutku Untukmu yang telah menjadikan haribaannya sebagai ketenangan bagiku Matanya yang selalu mengawasiku kuhadiahkan untai kata dan rangkai kalimat ini untukmu dan semoga Allah membalas segala budi baikmu dengan sebaik-baik balasan. Ya Allah jagalah ibuku dengan penjagaanMu, panjangkanlah umurnya, perbaikilah amalannya, dan tutuplah usianya dengan amal sholeh dijalanMu. Ibu .. kalaulah umurmu ditanganku ingin menambahkannya sekalipun aku harus binasa karenanya. Ibu .. kalau aku kuasa, kan kuangkat engkau setinggi-tingginya hingga ke langit. Demi Allah tidak akan ada yang bisa memberikan hakmu dengan sempurna kecuali Allah Ta’ala. IBU .. TAHUKAH ENGKAU SIAPA ITU IBU? Dia adalah contoh kasih sayang yang hidup di tengah kita, tidak ada yang memandangnya dengan penghormatan dan penghargaan melainkan orang-orang yang dikasihi Allah. Ibu adalah laksana batu karang kesabaran. Gambaran hidup bagi sifat pema’af dan lapang dada. Seseorang bercerita, “Sekarang aku baru mengetahui arti ungkapan sebagian orang ‘mendengar bukan seperti menyaksikan’. Aku banyak mendengar ragam ungkapan tentang besarnya keutamaan seorang ibu. Sama seperti yang lainnya, aku mendengar semua itu tapi hanya sebatas lewat ditelinga. Terkadang ungkapan yang indah menggetarkan perasaanku. Kadangkala aku mengangguk-angguk kagum mendengar bait-bait syair yang indah kemudian tidak tampak wujudnya dalam kehidupan nyata. Akan tetapi Allah mengingikan kebaikan untukku, ketika aku dapatkan diriku mengikuti fase-fase perkembangan kehamilan istriku selangkah demi selangkah. Dan ketika ia memasuki bulan yang kesembilan lebih sedikit. Aku bayangkan diriku adalah bayi meringkuk di dalam rahim itu. Aku terus mengikuti dan mengawasi .. aku mulai merasakan sebagian makna-makna tersebut yang sering aku dengar ..tentang keutamaan seorang ibu. Aku telah melihat dan melihat sesuatu hal yang luar biasa, membuat kepala menggeleng-geleng, hati tersentuh dan mata menangis. Sejak itu aku benar-benar yakin bahwasanya ibu wanita yang agung ini, manusia tidak akan pernah bisa membalas jasa dan budi baiknya sepanjang masa. Betapapun indahnya untai kata sebuah puisi dan rangkai kalimat nan lembut sebuah sya’ir Demi Allah tidak akan ada yang bisa membalas kebaikannya kecuali Allah semata. Diakhir bulan yang kesembilan itu ..apa yang aku saksikan!! Aku memohon rahmatMu ya Allah ..apakah sanggup seorang manusia menanggung semua kepedihan dan rasa sakit itu??!! Aku melihatnya menanggung semua itu dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Aku melihatnya dan mendengarnya dan ia tidak sadar ketika ia mengerang kesakitan aku merasakan panasnya pedih yang dirasanya berpindah langsung ke dalam hatiku. Aku berusaha berjuang melawan diriku agar mataku tidak mempermalukanku. Kemudian tidak beberapa lama, aku dikejutkan lagi oleh dirinya yang tersenyum melupakan kepedihan dan rasa sakit itu, seraya menunjuk ke perutnya ia berkata, “Aku sangat mencintaimu bayiku, aku rindu untuk melihatmu”. Maha suci Allah yang melimpahkan kesabaran kepadanya untuk menanggung kepedihan yang bersambung dengan ruhnya. Engkau melihatnya apabila bergerak merasa pedih, apabila duduk merintih, apabila berbaring meringis, apabila berjalan letih, apabila berusaha tidur untuk rehat sejenak tidak sanggup. Dia tidak bisa berbolak-balik di tempat tidurnya seenaknya seperti sebelum ia mengandung bayi itu. Namun begitu ia masih saja sibuk dengan mengatur, membersihkan, merapikan dan mengurus urusan rumah. Serta mengasuh anak-anaknya yang masih kecil; memberi makan, memandikan dan menidurkan mereka. Itu semua dilakukannya sendiri bagaikan mengangkat sebuah gunung. Dan setelah itu ia masih berujar kepada kesabaran dengan tersenyum, “hai sabar, ambillah pelajaran dariku. Hai sabar, ambillah pelarajan dariku”. Cobalah dirimu menjadi seorang ibu. Apakah sanggup seorang laki-laki untuk tinggal bersama seorang bayi usia dua atau tiga tahun sepanjang hari kalau tidak dia akan menyumpah serapah atau memaki dirinya sendiri karena kesal atau menyesal. Demi Allah, hanya seorang ibu saja yang sanggup menanggung itu dengan ridho, rela dan senyuman. Alangkah indahnya pemandangan ketika seorang ibu duduk dan di sekelilingnya duduk pula anak-anaknya yang masih kecil, tak obahnya anak-anak burung yang membuka paruhnya supaya ibunya menyuapkan makanan … Sang ibu membujuk ini untuk makan, bercanda dengan yang lainnya sambil menyuapkannya, dan memberi minum anaknya yang lain setelah berulangkali merayunya. Serta tertawa dengan yang paling kecil agar mau menyantap makanannya. Semua itu ia lakukan sambil duduk ditengah-tengah mereka dengan posisi yang tidak mengenakkan, hampir-hampir saja seluruh persendiannya menjerit, mengaduh menahan sakit. Namun begitu ia tetap tersenyum dan memberi semangat anak-anaknya agar mau makan. Kemudian tiba-tiba ia menjerit pelan, ia baru saja menerima tendangan bayi di dalam perutnya maka ia segera memperbaiki posisi duduknya, setelah itu ia kembal itersenyyum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Lantas, janinnya kembali memberikan pukulan dan tendangan lagi seolah-olah ia berkata kepada ibunya, “Aku disini ibu”. Sang ibu gembira dengan pukulan dan tendangan janinnya, sedangkan janinnya tidak membiarkannya beristirahat barang sejenak. Apabila tidak terasa gerakan janinnya ia takut dan cemas, apabila bergerak ia gembira dan senang. Subhanallah, beragam rasa sakit dan derita yang saya kira kalau ditimpakan kepada seorang laki-laki berotot barangkali ia akan menjerit sampai terdengar oleh tetangga-tetanggannya. Adapun dia, tetap sabar mengharapkan ridho Allah, bahkan tersenyum dan tertawa. Semoga rahmat Allah untuknya, ramat Allah atasnya dan rahmat Allah bersamanya. Apakah engkau mengira sakit dan pedih itu berakhir sampai disitu saja?! Alangkah mulianya engkau ibu … Apabila telah lewat usia kandungan Sembilan bulan, dan telah dekat saat keluarnya janin ke dunia, datanglah musibah itu. Si janin tidak ingin tinggal lagi dirahim ibunya, tapi dia tidak juga keluar dengan sukarela ke dunia fana ini. Ketika itulah rasa sakit yang tidak tertahankan, derita yang tidak ringan. Kemudian sering pula janin tidak keluar kecuali dengan paksaan, sehingga kadang daging harus disayat, perut dibelah atau divakum .. kemudian rasa sakit kian bertambah ketika janin mulai keluar ..darah berpacu dengan janin dan kematian serasa di ambang mata, terkadang kematian yang lebih dahulu dan si ibupun mati sementara janinnya yang hidup. Apabila sang ibu dikaruniahi usia yang panjang ia sadar setelah menghadapi kondisi yang berat ini, lalu apabila ia melihat bayinya terbaring disisinya, ia pun tersenyum .. hilang rasa sakit, lupa derita yang baru saja dilaluinya. Ya Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, alangkah menakjubkannya kasih sayang seorang ibu dan kerinduan kepada bayinya. Ia berjuang menghadapi rasa sakit dan kematian kemudian ia berangan-angan rela mati untuk kehidupan bayinya. Ibu … Kalaulah bintang gemintang memancarkan sinarnya menerangimu Kalaulah semua burung-burung bernyanyi menyenandungkan namamu Kalaulah angin lembut bertiup menaburkan butiran embun nan bening dan wangi dipangkuanmu Semua itu tidak cukup untuk membalas jasamu ibu. عن أنس قال : ارتقى النبي على المنبر درجة فقال آمين ..ثم ارتقى الثانية فقال آمين ..ثم ارتقى الثالثة فقال آمين .. ثم استوى فجلس فقال أصحابه : علامَ أمنت يا رسول الله ؟!..فقال : (( أتاني جبريل فقال : رغم أنف امرئ ذُكرت عنده فلم يصلِ عليك ، فقلت : آمين ثم قال : ورغم أنف امرئ أدرك أبويه ولم يدخل الجنة…” Dari Anas rodhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama naik ke tangga pertama mimbar maka belia mengucapkan amin, kemudian naik ke anak tangga ke dua seraya lalu mengucapkan amin, kemudian naik ke anak tangga yang ketiga lalu mengucapkan amin. Kemudian duduk di atas mimbar. Maka sahabat-sahabatnya berkata, “Apa yang engkau aminkan hai Rasulullah? Beliau berkata, “Jibril mendatangiku, lalu ia berkata, ‘Celaka orang yang disebutkan namamu dihadapnnya lalu ia tidak bersholawat atasmu, maka aku mengucapkan amin. Kemudian ia berkata, ‘Celaka orang yang mendapatkan kedua orangtuanya dan ia tidak masuk surga …”. (Shohih dengan syawahidnya, Fadhlush Sholah ‘alan Nabi tahqiq Syaikh Al Albany, hal; 30). Ibu … karena kemuliaanmu kening tertunduk hina di depanmu namamu semerbak mewangi, haribaanmu menghangati jiwaku Allah yang Maha Tinggi lagi Mulia menjagamu. Kepadamu ibuku, aku rindu Ridhomu atasku bagai hembusan angin nan sejuk menghapus dukaku Kasihmu duhai ibu, penawar luka-lukaku Peliru lara sepanjang umurku dan tempat bernaungku Dan setelah kepada Allah, kepadamulah aku mengadu Kala problema merundungku Dengan do’amu duhai ibu sirna segala kesusahanku Do’amu laksana jalan bagi hatiku Wahai ibuku, engkaulah yang membuat indah hidupku Bunga-bunga nan indah mekar dan mata air yang tak pernah berhenti mengaliriku Tak dapat kuhitung malam-malam yang kau lalui tanpa memejamkan matamu Dan hatimu bersedih ketika aku pergi meninggalkanmu Teruslah ibu menjadi pelita yang bagiku. Agar aku bisa berbakti kepadamu. Mari kita mulai mempelajari hadits dalam bab ini 3. HADITS KETIGA : عن بهر بن حكيم عن أبيه عن جده قلت : يا رسول الله من أبر قال أمك قلت من أبر قال أمك قلت من أبر قال أمك قلت من أبر قال أباك ثم الأقرب فالأقرب قال الشيخ الألباني : حسن Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, aku berkata, “Hai Rasulullah, siapa yang lebih berhak untuk saya berbakti kepadanya. Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, “Ibumu”. Aku berkata lagi : setelah itu siapa lagi? Beliau menjawab : ibumu. Aku berkata : siapa lagi? Beliau menjawab : ibumu. Aku berkata : kemudian siapa lagi? Beliau menjawab : ayahmu, kemudian yang paling dekat lalu yang paling dekat”.[2] SYARAH HADITS: Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya hak seorang ibu atas anaknya, yang mana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjadikan baginya tiga hak : Pertama : karena seorang ibu bersabar atas kesusahan dan kelelahan. Kedua : merasakan kesusahan dalam mengandung, melahirkan, menyusui, mengayomi. Ketiga : memberikan didikan secara khusus yang tidak dilakukan oleh seorang ayah. Lalu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama menjadikan untuk ayah satu hak saja sebagai balasan bagi nafkah, didikan, dan pengajarannya, serta apa yang berkaitan dengan itu. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berbuat baik kepada kerabat. Dan ibu yang paling berhak mendapatkan perilaku baik itu, lalu ayah, menyusul kerabat yang paling dekat, lalu yang paling dekat. Para ulama berkata, sebab didahulukannya ibu adalah karena ibu bersusah payah, lebih besar kasih sayang dan pelayanannya. Ibu menanggung berbagai kesulitan saat mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik, melayani, mengobati anak ketika sakit dan lain sebagainya. Al Haris Al Muhasiby menukilkan ijma’ ulama bahwa ibu lebih berhak mendapatkan perlakuan baik dari pada ayah. Dan Al Qodhi ‘Iyadh menuturkan, ada perbedaan pandangan ulama dalam masalah itu. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat ibu lebih diutamakan ..(kemudian lanjut beliau) dan yang benar adalah pendapat pertama (jumhur) karena hadits-hadits ini sangat tegas menunjukkan kepada makna tersebut”.[3] Wallahu A’lam. PELAJARAN HADITS : 1. Kewajiban berbakti/berbuat baik kepada kedua orangtua dan haramnya kedurhakaan kepada keduanya. 2. Ridho dan hak ibu didahulukan dari ridho dan hak ayah. 3. Anjuran berbuat baik kepada karib-kerabat sesuai urutan yang terdekat dengan kita. Terkadang seseorang bingung ketika hendak berbuat kebaikan kepada karib kerabatnya, siapa yang harus didahulukan. Maka hadits ini adalah jawabannya, yaitu didahulukan yang paling dekat hubungannya 4. HADITS KEEMPAT : عن بن عباس : أنه أتاه رجل فقال أنى خطبت امرأة فأبت أن تنكحني وخطبها غيرى فأحبت أن تنكحه فغرت عليها فقتلتها فهل لي من توبة قال أمك حية قال لا قال تب إلى الله عز و جل وتقرب إليه ما استطعت فذهبت فسألت بن عباس لم سألته عن حياة أمه فقال أنى لا أعلم عملا أقرب إلى الله عز و جل من بر الوالدة قال الشيخ الألباني : صحيح Dari Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma bahwasanya seseorang mendatanginya lalu berkata : bahwasanya aku meminang wanita, tapi ia enggan menikah denganku. Dan ia dipinang orang lain lalu ia menerimanya. Maka aku cemburu kepadanya lantas aku membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas berkata : apakah ibumu masih hidup? Ia menjawab : tidak. Ibnu Abbas berkata : bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan dekatkanlah dirimu kepadaNya sebisamu. Atho’ bin Yasar berkata : maka aku pergi menanyakan kepada Ibnu Abbas kenapa engkau tanyakan tentang kehidupan ibunya? Maka beliau berkata : aku tidak mengetahui amalan yang paling dekat kepada Allah ‘Azza wa Jalla selain dari berbakti kepada ibu”.[4] SYARAH HADITS : Berbuat baik kepada ibu adalah ibadah yang sangat agung, bahkan dengan berbakti kepada ibu diharapkan bisa membantu taubat seseorang diterima Allah Ta’ala. Seperti dalam riwayat di atas, seseorang yang melakukan dosa sangat besar yaitu membunuh, ketika ia bertanya kepada Ibnu Abbas apakah ia masih bisa bertaubat, Ibnu Abbas malah balik bertanya apakah ia mempunyai seorang ibu, karena menurut beliau berbakti atau berbuat baik kepada ibu adalah amalan paling dicintai Allah sebagaimana sebagaimana membunuh adalah termasu dosa yang dibenci Allah. Pernah seseorang mendatangi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama lalu ia berkata, يا رسول الله أذنبت ذنبا عظيما ذنبا عظيما ؟ قال هل لك من أم ؟ قال لا . قال وهل لك من خالة ؟ . قال نعم . قال برها “Hai Rasulullah sesungguhnya aku telah melakukan dosa yang besar apakah aku bisa bertaubat?” Maka beliau menjawab, “Apakah engkau punya dua orangtua”ia menjawab, “Tidak” Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bertanya lagi, “Apakah kamu punya Khoolah (bibi dari jalur ibu)?” Ia berkata, “Ya”. Nabi bersabda, “Maka berbuat baiklah kepadanya”.[5] Di dalam surat Al Furqon Allah Ta’ala menyebutkan tiga dosa paling besar yaitu; syirik, membunuh dan zina, kemudian Allah sebutkan azab bagi pelakunya yaitu; kehinaan dan azab yang berlipat ganda di akhirat. Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[6] Kesimpulannya, berbuat baik kepada ibu adalah amal sholeh yang sangat bermanfa’at untuk menghapuskan dosa-dosa dan jalan untuk masuk surga. PELAJARAN HADITS : 1. Bolehnya laki-laki meminang wanita yang hendak dinikahinya. 2. Wanita yang dipinang boleh menolak jika ia tidak suka atau ridho kepada laki-laki yang meminangnya. 3. Pelaku dosa besar seperti pembunuh, dinasehati agar bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah sekuat kemampuannya. 4. Dalam riwayat ini pelaku pembunuhan mengaku kepada Ibnu Abbas bahwa ia telah membunuh. Lantas kenapa Ibnu Abbas tidak menegakkan hukum had atasnya? Jawabannya : karena hukum had adalah kewajiban pemerintah untuk menegakkannya. 5. Bakti kepada ibu mendekatkan pelaku maksiat kepada Allah Ta’ala melebihi keta’atan lain.[7] (Wallahu A’lam bish Showaab) [1] Lebih luas tentang bakti kepada ibu silahkan membaca : Wahai Ibu Ma’afkan Anakmu, oleh Abuz Zubair Hawaary, cet. Daarul Falah Jakarta. [2] Dikeluarkan oleh Ahmad di Al Musnad (2/5), Abu Dawud di Al Adab Bab Birrul Waalidain (5139), At Tirmidzi di Al Birr wash Shilah Bab. Ma Ja-a fi Birril Waalidain (7981), dinyatakan hasan oleh Al Albany, lihat Al Irwa’ (837, 2170). [3] Syarah Shohih Muslim (16/102). [4] Hadits ini dikeluarkan juga oleh Al Baihaqy di Syu’abul Iman (7313), dan Syaikh Al Albany menshohihkannya, lihat As Shohihah (2799). [5] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shohihnya (2/177), Al Hakim dan Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini shohih menurut syarat Syaikhoini, namun keduanya tidaki mengeluarkannya”. (4/171, no. 7261) Imam Ahmad di Al Musnad (2/13). [6] Al Furqon : 70. [7] Idho-aat min Rosy-syil Barad oleh Suhail Umar Abdullah Suhail Asy Syariif dan Silsilah Al-Adabul Mufrod oleh Hani Hilmy. This entry was posted in Akhlak, IBU, Maafkan Anakmu ... by Abu Zubair Hawaary. Bookmark the permalink.
Baca SelengkapnyaSYARAH KITAB AL-ADABUL MUFROD IMAM AL BUKHORI (2) Oleh, Abuz Zubair Hawaary BAB II. [KEWAJIBAN] BERBAKTI KEPADA IBU

Selasa, 28 Mei 2013

Peringatan Keras Bagi Para Pedagang

Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ ” قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: ” بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ “ Dari ‘Abdurrahman bin Syibel, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Para pedagang adalah tukang maksiat”. Diantara para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya palsu”. (HR. Ahmad 3/428, Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/43, 99, 100, At Thahawi dalam Musykilul Atsar 3/12, Al Hakim 2/6-7) Dari artikel 'Peringatan Keras Bagi Para Pedagang — Muslim.Or.Id' Derajat Hadits Al Hakim berkata: “Sanadnya shahih”. Penilaian beliau disetujui oleh Adz Dzahabi, demikian juga Syaikh Al Albani (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/707). Faidah Hadits 1. Larangan keras berdusta dan bersumpah palsu dalam berdagang secara khusus. 2. Larangan keras berdusta dan bersumpah palsu secara umum karena yang dimaksud fujjar oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits adalah orang yang berbuat demikian. 3. فُجَّارُ (fujjar) adalah bentuk jamak dari فاجر (fajir) yang artinya ‘orang yang sering melakukan perbuatan dosa dan menunda-nunda taubat’ (lihat Lisanul ‘Arab). Dari sini diketahui sangat kerasnya larangan berdusta dan bersumpah palsu dalam berdagang, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebut para pedagang sebagai fujjar atau tukang maksiat secara mutlak. 4. Dalam Al Mu’tashar (1/334), Imam Jamaludin Al Malathi Al Hanafi (wafat 803 H) berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebut pedagang sebagai tukang maksiat secara mutlak karena demikianlah yang paling banyak terjadi, bukan berarti secara umum mereka demikian. Orang arab biasa memutlakan penyebutan pujian atau celaan kepada sekelompok orang, namun yang dimaksud adalah sebagian saja. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ “Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu” (QS. Az Zukhruf: 44) juga firman Allah Ta’ala: وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ “Dan kaummu mendustakannya (azab di akhirat)” (Qs. Al An’am: 66) 5. Tidak salah jika dikatakan bahwa kebanyak para pedagang berbuat demikian karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallammengabarkan: يا معشر التجار إن الشيطان والإثم يحضران البيع فشوبوا بيعكم بالصدقة “Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa hadir dalam jual-beli. Maka iringilah jual-belimu dengan banyak bersedekah” (HR. Tirmidzi 1208, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”) 6. Bukti ke-faqih-an para sahabat Nabi dalam ilmu agama. Mereka segera mengetahui dua dalil yang nampak bertentangan. Hal ini tidak mungkin disadari oleh orang yang tidak faqih dalam ilmu agama. 7. Jika dua dalil nampak bertentangan, selama ada jalan untuk mengkompromikan keduanya, maka wajib dikompromikan. 8. Hadits ini bukan demotivator untuk berdagang, melainkan hanya peringatan agar berbuat jujur dan tidak mudah bersumpah ketika berdagang. Buktinya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri adalah pedagang. Abu Bakar ASh Shiddiq radhiallahu’anhu adalah pedagang pakaian. Umar radhiallahu’anhu pernah berdagang gandum dan bahan makanan pokok. ‘Abbas bin Abdil Muthallib radhiallahu’anhu adalah pedagang. Abu Sufyan radhiallahu’anhu berjualan udm (camilan yang dimakan bersama roti) (Dikutip dari Al Bayan Fi Madzhab Asy Syafi’i, 5/10). 9. Hadits ini bukan demotivator untuk berdagang, karena banyak dalil lain yang memotivasi untuk berdagang. Diantaranya: التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء “Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan para syuhada” (HR. Tirmidzi no.1209, ia berkata: “Hadits hasan, aku tidak mengetahui selain lafadz ini”) عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: «عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata, ada yang bertanya kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?’. Rasulullah menjawab: “Pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang mabrur (baik)” — Penulis: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id ========== Dari artikel 'Peringatan Keras Bagi Para Pedagang — Muslim.Or.Id'
Baca SelengkapnyaPeringatan Keras Bagi Para Pedagang

Ketika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil

Sebuah kisah dimasa masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang ditulis oleh An Nasa-i (2/233), Al Hakim (2/36), Ahmad (4/226), عن ابن جريج قال: ولقد أخبرني عكرمة بن خالد أن أسيد بن حضير الأنصاري – ثم أحد بني حارثة – أخبره: ” أنه كان عاملا على اليمامة، وأن مروان كتب إليه أن معاوية كتب إليه أن أيما رجل سرق منه فهو احق بها حيث وجدها، ثم كتب بذلك مروان إلي وكتبت إلى مروان أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى بأنه إذا كان الذي ابتاعها (يعني السرقة) من الذي سرقها غير متهم يخير سيدها، فإن شاء أخذ الذي سرق منه بثمنها وإن شاء اتبع سارقه ثم قضى بذلك أبو بكر وعمر وعثمان. فبعث مروان بكتابي إلى معاوية وكتب معاوية إلى مروان: إنك لست أنت ولا أسيد تقضيان علي، ولكني أقضي فيما وليت عليكما، فانفذ لما أمرتك به، فبعث مروان بكتاب معاوية، فقلت: لا أقضي به ما وليت بما قال معاوية Dari Ibnu Juraij, ia berkata, Ikrimah bin Khalid mengabarkan kepadaku, bahwa Usaid bin Hudhair Al Anshari (tsumma Al Haritsah) mengabarkan kepadaku : Ketika Usaid menjadi gubernur di Yamamah, Marwan menulis surat kepada Usaid yang isinya menceritakan bahwa Mu’awiyah menulis surat kepada Marwan, yang isinya: “siapa saja yang telah dicuri barangnya, ketika ditemukan, maka dialah yang paling berhak atas barang tersebut”, lalu Marwan menyampaikan isi surat itu padaku (Usaid). Dari artikel 'Ketika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil — Muslim.Or.Id' Lalu aku menulis surat kepada Marwan bahwa Nabi Shallallahu’alahi Wasallam telah memutuskan bahwa barang curian sudah dibeli orang lain dari orang yang mencurinya, sedangkan orang yang membeli ini tidak ada indikasi keburukan (misalnya sebagai penadah, pent.), maka pemilik asli barang tersebut hendaknya memilih dari dua pilihan: ia bisa mengambil barang tersebut dengan memberi ganti harganya, atau ia menelusuri siapa pencurinya. Abu Bakar, Umar dan Utsman juga telah menetapkan demikian. Lalu Marwan menyampaikan suratku itu kepada Mu’awiyah. Kemudian Mu’awiyah membalas surat Marwan: “Bukan anda atau Usaid yang memutuskan hukum terhadapku, namun akulah yang berhak memutuskan perkara untuk kalian berdua patuhi. Maka jalankanlah apa yang telah aku putuskan”. Lalu Marwan menyampaikan surat Mu’awiyah tersebut kepadaku, dan aku katakan: “Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut” Derajat Hadits Imam Al Hakim mengatakan: “hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim”. Namun Adz Dzahabi menemukan illah dalam hadits ini, beliau berkata: “Usaid bin Hudhair ini wafat di masa Umar, ia tidak bertemu Ikrimah dan tidak hidup di zaman Mu’awiyah, sehingga ini perlu ditelaah”. Namun Al Hafidz Al Mizzi mengatakan: “Ini adalah sebuah wahm. Harun berkata, bahwa Imam Ahmad berkata, yang tertulis di catatan Ibnu Juraij adalah Usaid bin Zhuhair (أسيد بن ظهير)”, namun demikianlah (Usaid bin Hudhair) yang dikatakan oleh para ulama Bashrah. Abdur Razaq dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ikrimah dari Usaid bin Zhuhair, inilah yang benar”. Diantaranya yang diriwayatkan Abdurrazaq Ash Shan’ani dalam Al Mushannaf (18829) : لَقَدْ أَخْبَرَنِي عِكْرِمَةُ بْنُ خَالِدٍ , أَنَّ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ , أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ عَامِلًا عَلَى الْيَمَامَةِ … “Ikrimah bin Khalid telah mengabarkan kepada kami, bahwa Usaid bin Zhuhair Al Anshari telah mengabarkannya, bahwa ketika ia menjadi gubernur di Yamamah… ” Lalu Syaikh Al Albani menyimpulkan, “jika demikian, maka Usaid bin Zhuhair itu adalah seorang sahabat Nabi yang ketika perang Uhud terjadi usianya masih kecil. Selain Ikrimah, anaknya Ikrimah, Rafi’, dan juga Mujahid meriwayatkan darinya. Sehingga hadits ini shahih dan hilanglah wahm yang ada” (diringkas dari Silsilah Ahadits Shahihah, 2/164-165) Faidah Hadits 1. Berdasarkan hadits ini, barang curian yang dicuri jika sudah berpindah tangan dari pencurinya kepada orang lain dengan jual beli yang sah, lalu pemilik aslinya menemukan barang tersebut, maka si pemilik asli dapat memilih antara dua opsi: 1. Membeli kembali barang tersebut dari pemilik sekarang 2. Melaporkan kepada yang berwajib untuk menelusuri pencurinya 2. Ketentuan tadi berlaku dengan syarat, si pembeli itu ghayru muttaham. Maksudnya si pembeli tidak terindikasi bahwa dia membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah. Misalnya, si pembeli sudah tahu bahwa barang tersebut curian namun tetap membelinya, atau sebagai penadah barang curian. Jika pembeli tersebut membeli dari si pencuri dalam keadaan tidak tahu bahwa ia pencuri dan tidak tahu bahwa barangnya merupakan barang curian, maka pembeli tersebut ghayru muttaham. Jika pembeli tersebut muttaham, atau terindikasi membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah, maka si pemilik berhak mengambil barang miliknya tanpa harus membelinya lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’awiyah radhiallahu’anhu. Jelasnya silakan simak penjelas Syaikh Ali Farkus hafizhahullah di sini. 3. Jika sesuai ketentuan, maka pemilik asli tidak bisa menuntut pemilik barang sekarang untuk menyerahkan barangnya cuma-cuma karena ia telah membelinya dengan transaksi yang sah. 4. Dalam jual beli, Islam tidak membebani pembeli untuk menanyakan kepada penjual ‘ini barang curian atau bukan? dapatnya dari mana? halal atau tidak cara mendapatkannya?’ atau semacamnya. Karena jika Islam membebani demikian, tentu pemilik barang sekarang dituntut tanggung jawabnya dan dikenai hukuman karena telah berbuat kesalahan tidak menanyakan demikian ketika membeli. 5. Syaikh Al Albani menjelaskan faidah hadits ini: “Seorang qadhi (hakim) tidak wajib membuat keputusan berdasarkan pendapat khalifah jika telah jelas baginya bahwa pendapat tersebut menyelisihi sunnah. Lihatlah, Usaid bin Zhuhair menolak apa yang yang diperintahkan Mua’wiyah dengan berkata: ‘Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut’. Dalam hadits ini juga ada bantahan terhadap pemikiran orang-orang yang ada di partai-partai Islam tentang wajibnya taat terhadap keputusan khalifah yang shalih dalam suatu hukum, walaupun bertentangan dengan nash. Mereka juga mengklaim bahwa sikap demikian itu juga dilakukan oleh generasi awal kaum muslimin. Ini adalah klaim yang batil, tidak ada celah bagi mereka untuk membenarkan sikap tersebut. Bagaimana mungkin demikian, karena dengan sikap ini mereka akan menentang puluhan dalil, hadits ini salah satunya. Diantaranya juga, penyelisihan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu terhadap pelarangan haji tamattu’ oleh Utsman bin Affan radhiallahu’anhu semasa kekhalifahannya. Beliau tidak menaati pelarangan itu dan bahkan menampakkan penyelisihannya tersebut. Sebagaimana riwayat dalam Shahih Muslim (4/46), اجتمع علي وعثمان رضي الله عنهما بعسفان، فكان عثمان ينهى عن المتعة أو العمرة، فقال علي: ما تريد إلى أمر فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم تنهى عنه؟ ! فقال عثمان: دعنا منك ! فقال: إني لا أستطيع أن أدعك. فلما أن رأى علي ذلك أهل بهما جميعا “Orang-orang berkumpul pada Utsman di Asfan, ketika itu Utsman melarang haji tamattu’. Maka ‘Ali berkata: ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Utsman menjawab, “biarkan aku menetapkan demikian”. Ali berkata “Aku tidak akan membiarkannya”. Kemudian walaupun Ali berpendapat demikian, ia lalu berihram untuk keduanya sekaligus (haji qiran)‘” (Silsilah Ahadits Shahihah, 2/165-166) 6. Pejabat, hakim, dan orang-orang yang memutuskan hukum tidak wajib taat pada suatu putusan pemerintah jika aturan dan keputusan tersebut bertentangan dengan dalil. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ “Mendengar dan ta’at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan ta’at” (HR. Bukhari no.2955) 7. Ketika pemerintah mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan syari’at, maka tetap taat para pemerintah dalam hal yang ma’ruf dan tidak memberontak. Dalam hadits ini Usaid radhiallahu’anhu hanya menyatakan untuk tidak menaati keputusan Mu’awiyah tersebut dan tidak berniat atau mengajak memberontak kepada Mu’awiyah radhiallahu’anhu. Bahkan ini jelas sekali dalam kasus Ali dan Utsman radhiallahu’anhum, Ali menolak untuk menaati keputusan Utsman yang bertentangan dengan dalil, bahkan Ali menzhahirkan bolehnya haji tamattu’ kepada masyarakat dengan berkata ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ dalam rangka mendidik umat. Namun ketika itu, Ali tetap taat pada Utsman dengan tetap melakukan haji qiran. Dan tidak ada cerita bahwa setelah itu radhiallahu’anhu memberontak kepada Utsman gara-gara keputusan ‘Utsman tersebut. 8. Hadits ini dalil bahwa para sahabat radhiallahu’anhu dalam membantah dan berargumen mereka berlandaskan dalil dan mendahulukan sabda Nabi dibanding perkataan orang manapun. — Penulis: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id ========== Dari artikel 'Ketika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil — Muslim.Or.Id'
Baca SelengkapnyaKetika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil