SALAFY LOMBOK
Blog Ahlussunnah wal jamaah

Cari Blog Ini

Minggu, 03 Juli 2011

LARANGAN BERFATWA TANPA ILMU

1. DALIL AL QUR'AN

Allah Ta'ala berfirman : " Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa
yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Q.S.
An Nahl : 116)

2. DALIL AS SUNNAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa diberi fatwa
tanpa ilmu maka dosanya adalah atas orang yang memberi fatwa tersebut.
Barangsiapa menganjurkan satu perkara kepada saudaranya seagama
sementara ia tahu bahwa ada perkara lain yang lebih baik berarti ia
telah mengkhianatinya " [Hadits hasan, dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam
al Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, ad Darimi, al Hakim, al
Khathib al Baghdadi dan selainnya.

Diriwayatkan dari 'Atha' bin Abi Rabah, ia berkata : "Aku mendengar Ibnu
'Abbas radhiyallaahu 'anhu menceritakan tentang seorang lelaki di zaman
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang terluka pada bagian kepalanya,
kemudian malamnya ia mimpi basah. Lalu ia disuruh mandi. Maka ia pun
mandi. Selesai mandi tubuhnya kejang-kejang lalu mati. Sampailah
beritanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka beliau
bersabda : "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka.
Bukankah bertanya merupakan obat kebodohan ?! " [Shahih diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, ad Daraquthni, al Hakim, ath Thabrani, Abu Nu'aim.

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata :
"Bagi yang tahu hendaklah mengatakan apa yang ia ketahui. Dan bagi yang
tidak tahu hendaklah mengatakan : Allahu a'lam. Sebab termasuk ilmu
adalah mengatakan aku tidak tahu dalam perkara yang tidak ia ketahui
ilmunya. Sebab Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya : "Katakanlah (hai
Muhammad), 'Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku;
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan " (Q.S. Shaad
: 86) [HR Al Bukhari dan Muslim]

3. FAWAID / KANDUNGAN BAB

a. Seorang mufti berbicara atas nama Allah, maka hendaklah ia
berhati-hati agar tidak berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Orang yang
diangkat sebagai juru bicara Allah haruslah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya, ia harus menyadari betapa agung kedudukannya tersebut.
Janganlah dadanya merasa berat untuk mengatakan kebenaran dan
menyatakannya. Karena sesungguhnya Allah menolongnya dan menunjukinya.
Bagaimana tidak, itulah kedudukan yang Allah sendirilah yang
menanganinya, Dia berfirman : " Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang
para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur'an " (Q.S. An Nisaa : 127)

Cukuplah sebagai bukti kehormatan dan kemuliaan tugas tersebut bahwa
Allah sendirilah yang menanganinya. Allah berfirman : " Mereka meminta
fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah... " (Q.S. An Nisaa : 176)

Hendaklah seorang mufti mengetahui siapakah yang ia wakili dalam
fatwanya. Dan hendaklah ia sadari bahwa ia akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah Ta'ala.

b. Oleh sebab itu para ulama Salaf sangat takut mengeluarkan fatwa.
Mereka sadar betul kedudukannya serta bahaya bila memang tidak mampu.
Mereka tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidak mau
mengelurkan fatwa hingga mereka anggap sudah layak untuk berfatwa. Namun
mereka lebih suka dilepaskan dari tugas tersebut. Diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata : " Aku telah bertemu dengan
seratus dua puluh orang Sahabat Nabi dari kalangan Anshar, tidaklah
salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia
berharap temannya yang lainlah yang menjawabnya. " [Riwayat Shahih,
diriwayatkan oleh ad Darimi, Ibnu Sa'ad, Ibnul Mubarak, al Fasawi dan
selainnya. ]

c. Oleh karena itu hendaklah orang-orang jahil menjauhi kedudukan
ini, khususnya dari kalangan fuqaha dan orang-orang yang mengaku
berilmu, namun sebenarnya tidak punya ilmu; yang cepat sekali
mengeluarkan fatwa karena takut dibilang bodoh atau karena ingin
mendapat perhatian dalam majelis.

d. Ketahuilah wahai hamba Allah, mengeluarkan fatwa berarti engkau
telah berbicara atas nama Allah tentang perintah dan larangan-Nya. Dan
engkau akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya. Oleh sebab itu,
bila engkau ditanya tentang suatu masalah maka jangan pikirkan
keselamatan si penanya, namun pikirkanlah dulu keselamatan dirimu. Jika
engkau mampu menjawabnya, maka jawablah ! Jika tidak mampu, maka lebih
baik diam. Sebab, menahan diri dalam kondisi seperti itu lebih selamat,
lebih bijaksana dan lebih menunjukkan kedalaman ilmumu !

Wahai para mufti, periksalah benar-benar fatwa yang engkau keluarkan.
Engkau telah membawa dirimu kepada perkara yang sangat berbahaya,
janganlah engkau keluarkan fatwa kecuali bila keadaan sangat darurat.

Suatu hari Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya lalu ia menjawab:
'Allahu a'lam '. Kemudian ia berkata: "Demi Allah, lebih bagus seseorang
itu hidup jahil, setelah mengetahui hak-hak Allah atas dirinya, daripada
mengatakan apa yang tidak ia ketahui " [Riwayat Shahih, diriwayatkan
oleh ad Darimi, Abu Khaitsamah, al Khathib al Baghdadi dan al Fasawi]


ENSIKLOPEDIA LARANGAN - JILID 1. Pustaka Imam Asy Syafi'i Mausuu'ah
al-Manaahiyyiys Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyah Syaikh
Salim bin 'Ied al-Hilali Daar Ibnu 'Affan Th. 1419 H

Tidak ada komentar: